Era digital telah membuka ruang komunikasi global yang memungkinkan interaksi lintas budaya semakin intens. Namun, interaksi ini juga memunculkan tantangan baru, seperti konflik budaya, ujaran kebencian, dan kesalahpahaman yang dapat menciptakan polarisasi sosial. Dalam konteks ini, pragmatik menawarkan solusi untuk membangun komunikasi yang lebih empatik dan inklusif.
Pragmatik mengajarkan kita untuk tidak hanya melihat apa yang dikatakan, tetapi juga memahami konteks sosial, budaya, dan emosional di balik tuturan tersebut. Dengan ini, kita dapat menghindari interpretasi yang salah dan menciptakan komunikasi yang lebih harmonis. Misalnya, dalam percakapan sehari-hari, penting untuk memperhatikan cara kita berbicara agar pesan yang disampaikan tidak menyinggung perasaan orang lain.
Salah satu penerapan pragmatik yang relevan di masyarakat adalah dalam mendukung tenaga kerja migran dan turis. Mereka sering kali menghadapi kesalahpahaman karena perbedaan budaya. Dengan memahami norma-norma budaya lokal, mereka dapat berkomunikasi lebih efektif dan mengurangi potensi konflik.
Selain itu, pragmatik juga dapat diimplementasikan dalam pendidikan di sekolah. Misalnya, siswa diajarkan untuk memahami pentingnya menjaga 'tampilan' lawan bicara dan memilih kata-kata yang tepat dalam berbagai situasi. Ketika siswa memahami hal ini, mereka akan lebih bijaksana dalam berkomunikasi, baik secara langsung maupun di media sosial.
Di era digital, pragmatik juga sangat bermanfaat untuk meningkatkan literasi digital masyarakat. Dengan memahami konteks komunikasi digital, kita dapat lebih kritis dalam menanggapi informasi yang diterima dan lebih bertanggung jawab dalam menyebarkan informasi. Misalnya, pragmatik membantu kita mengenali ujaran kebencian atau informasi yang menyesatkan dengan menganalisis maksud di balik pesan tersebut.
Pendekatan pragmatik kontekstual menekankan pentingnya memahami situasi komunikasi secara holistik. Dalam konflik antari ndividu atau kelompok, kita diajarkan untuk menggali maksud sebenarnya di balik kata-kata yang diucapkan sebelum mengambil tindakan. Kadang-kadang, ujaran yang terdengar kasar sebenarnya adalah bentuk ekspresi ketidakpuasan yang jika ditangani dengan empati, dapat menjadi pintu dialog.
Langkah awal yang dapat dilakukan adalah mempromosikan kesadaran akan pentingnya pragmatik dalam kehidupan sehari-hari. Pragmatik bukan hanya bidang kajian akademik, tetapi juga keterampilan hidup yang membantu kita menjadi lebih bijaksana dan penuh empati. Melalui pendekatan pragmatik, kita dapat belajar untuk tidak hanya memahami kata-kata, tetapi juga menghargai perasaan, budaya, dan pandangan orang lain. Dalam dunia yang semakin terhubung ini, kemampuan tersebut menjadi kunci untuk menciptakan harmoni di tengah keberagaman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H