Lihat ke Halaman Asli

FAIZA HANUM INGGIT THALITA

MAHASISWA PROGDI BK ANGKATAN 2019

Akankah Berakhir Stigma Kesehatan Mental?

Diperbarui: 8 September 2022   09:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

AKANKAH BERAKHIR STIGMA KESEHATAN MENTAL ?

Oleh : FAIZA HANUM INGGIT THALITA

Mahasiswa progdi BK UKSW angkatan 2019

“Kamu itu lemah” “Paling cari perhatian saja” “Ya elah lebay banget si” “Kurang ibadah aja kali” “ih ngapain deket-deket sama orang gila” “Ke psikolog ? kamu gila ya?” “gitu aja kok stress” , kalimat-kalimat tersebut adalah bentuk dari stigma kesehatan mental yang sering didengar di masyarakat Indonesia.

Di Indonesia,  mental health issues masih sering dianggap remeh bahkan isu kesehatan mental merupakan hal yang sering dianggap tabu dikalangan masyarakat. Kebanyakan orang menganggap gangguan kesehatan mental berkaitan dengan sakit gila, perilaku tidak patut, perilaku tidak mampu mengendalikan diri, gangguan yang kumat-kumatan dan tidak bias sembuh. Banyak orang yang mulai speak up mengenai gangguan kesehatan mental yang sedang mereka alami namun kesadaran masyarakat yang rendah mengakibatkan munculnya diskriminasi terhadap pengidap gangguan mental. Bentuk driskriminasi tersebut berupa perlakuan kasar, penghinaan, maupun perundungan. Tidak jarang juga masyarakat menjauhi pengidap gangguan kesehatan mental beserta keluarganya.

Perkiraan prevalensi gangguan kesehatan mental didunia menurut WHO (2017) adalah 110 juta, setara dengan 12% dari seluruh populasi pada satu waktu. Satu dari empat orang didunia mempunyai pengaruh dalm kehidupan akibat gangguan mental/sekitar 450 juta orang orang saat ini menderita kondisi seperti itu dan menempatkan gangguan mental diantara penyebab utama. Selanjutnya angka tersebut bertambah dengan dimasukannya penggunaan narkoba sebagai salah satu bentuk gangguan mental sebesar 27 juta (bertambah 15%). Sementara dimasukkannya gangguan neurologis seperti dimensia, gangguan epilesi dan sakit kepala sebagai bagian dari gangguan mental menyebabkan peningkatan total lebih dari 300 juta (menjadi 50%).

Selanjutnya, merujuk data hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2018, mengemukakan prevalensi rumah tangga dengan anggota yang menderita skizofrenia atau psikosis sebesaar 7 per 1000 dengan cakupan pengobatan 84,9%. Sementara itu, pravalensi gangguan mental emosional pada remaja berumur lebih dari 15 tahun sebesar 9,8%. Angka ini meningkat dibandingkan tahun 2013 yaitu sebesar 6% berdasarkan data dari Balitbangkes 2018.

Jumlah penduduk aceh saat ini yang terdata mengalami gangguan kesehatan mental berjumlah sekitar 19.500 orang dan sebanyak 95 orang diantaranya masih hidup dengan cara dipasung.

Di Amerika, bunuh diri menjadi penyebab kematian terbanyak setelah kecelakaan, dengan total 11.577 kasus pada tahun 2017. Fakta ini membuktikan bahwa isu kesehatan mental merupakan masalah serius dan nyata.

Permasalahan ini menjadi semakin kompleks karena jumlah penderita gangguan mental yang semakin hari semakin bertambah. Orang dengan gangguan mental mendapatkan permasalahan akibat gejala dari penyakitnya, terlebih dengan stigma terhadap penderita gangguan mental. Kondisi ini memiliki efek buruk bagi penderita gangguan mental.

Adanya stigma menjadi tantangan tersendiri dalam upaya meningkatkan awareness masyarakat terkait isu kesehatan mental di Indonesia. Tapi stigma itu apa sih? Yuk baca uarain berikut untuk informasi selengkapnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline