Lihat ke Halaman Asli

Pendidikan Kritis = Pendidikan Humanistik

Diperbarui: 25 Juni 2015   04:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Oleh : Faiz Al-zawahir*

Banking concept of education, istilah Paulo Freire bagi proses dehumanisasi pendidikan. Ciri utamanya adalah komunikasi bersifat antidialogis, guru mengajar-murid belajar, guru tahu segalanya-murid tidak tahu apa-apa, guru bicara-murid mendengarkan, guru adalah subjek proses belajar-murid objek belajar.

Paul MacLean, pengkaji Triune Theory, menjelaskan adanya pengaruh cara kerja otak dalam pembelajaran. Ada 3 bagian otak dengan fungsi masing-masing yang berbeda, yaitu otak besar (neokorteks), otak tengah (sistem limbik), dan otak kecil (otak reptil).

Otak besar berfungsi untuk kegiatan berbicara, berpikir, belajar, memecahkan masalah, merencanakan, dan mencipta. Otak tengah berfungsi untuk kegiatan yang melibatkan aspek sosial dan emosional, serta untuk mengingat jangka panjang (long term memory). Otak kecil berfungsi untuk bereaksi, kegiatan yang bersifat mengulang, mempertahankan diri, dan ritualis.

Sungguh tidak dapat dibayangkan jika pembelajaran masih didominasi oleh kegiatan menghafal, mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rutin, dan mengedepankan komunikasi satu arah semata. Jika aktivitas pembelajaran tersebut dominan dilakukan di kelas, maka siswa-siswa kita hanya memfungsikan otak kecilnya saja. Bagaimana dengan nasib optimalisasi otak besar dan otak tengahnya? Bukankah ini merupakan proses menafikan eksplorasi potensi diri siswa yang sebenarnya sangat luar biasa?

Penyelenggaraan pendidikan kritis yang lebih mencerdaskan siswa dan mampu memberdayakan seluruh potensi siswa perlu dikembangkan secara tepat guna di ruang-ruang kelas. Terinspirasi oleh pemikiran Freire, ada 3 fokus utama yang dapat dijadikan landasan bertindak untuk mengembangkan pembelajaran yang lebih humanis, yaitu (1) Siswa belajar dari realitas atau pengalaman, dimana siswa tidak hanya menelan teori semata, tetapi otoritas pengetahuan siswa dibangun dari realitas yang ada di lingkungan sekitar siswa, (2) Dalam situasi pembelajaran, tak ada guru dan tak ada murid yang digurui, siswa dan guru sama-sama belajar, guru belajar untuk mengajar dan siswa belajar untuk belajar, (3) Dialogis adalah ciri utama yang dikembangkan dalam situasi pembelajaran, dimana guru-siswa dan siswa-siswa terlibat aktif dalam kegiatan transfer of learning positif sebagai sebuah komunitas belajar produktif.

*Faiz Al-zawahir, Seorang mahasiswa jurusan Pendidikan Agama Islam UIN SGD Bandung; Aktivis HMI Komisariat Tarbiyah Cabang Kabupaten Bandung.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline