Lihat ke Halaman Asli

2016, Haruskah Indonesia Beresolusi??

Diperbarui: 11 Januari 2016   21:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Lembaran 2016 telah berlangsung selama sebelas hari. Perjalanan bahtera besar Indonesia di awal tahun ini dibuka dengan 'pembagian' rapor para menteri dan isu pergantian pemain di lapangan kabinet. Wajah Indonesia awal tahun yang cukup menarik.

Namun bukan itu yang akan jadi fokus di sini.

2016, jilid baru dari sebuah buku kehidupan, tak terkecuali kehidupan Indonesia yang terlahir 70 tahun yang lalu. Seperti halnya masyarakat kebanyakan, awal tahun menjadi perlombaan beresolusi. Lalu, pentingkah sebuah resolusi bagi Indonesia, negara dengan jutaan manusia dan ribuan pulau bertebar keindahan??

Menilik sejenak kondisi Indonesia, tanah air ini bisa dikatakan belum dalam kondisi sehat. Resolusi pun menjadi kata yang menarik untuk dibahas mendalam bagaimana seharusnya resolusi Indonesia. Resolusi yang dapat memperbaiki tentunya, bukan hanya sekedar perencanaan sia - sia.

Berbicara tentang resolusi, bangsa ini adalah empunya. Persiapan kemerdekaan pun tak luput dari pembahasan resolusi. Bukan hanya resolusi lagi, sebuah dasar berbangsa dan bernegara yang diamanatkan untuk Indonesia. Falsafah hidup bangsa. Resolusi abadi Indonesia, dasar negara Pancasila.

Saya teringat beberapa tahun yang lalu saat duduk di bangku sekolah dasar sedang mendengarkan pembelajaran tentang Pancasila. Mengurai satu persatu silanya. Konsep sila yang awal menjiwai sila setelahnya. Hingga keinginan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Namun, Pancasila kini agak hilang dari diri manusia Indonesia. Dan keberadaannya yang paling populer adalah menemani sang Garuda di tembok sekolah dan instansi pemerintah. Lebih dari itu, kehidupan bangsa ini tak lagi memperhatikan Pancasila. Ah, bagaimana bisa??

Memang kesadaran untuk menjunjung tinggi kemanusiaan banyak dimiliki walau sering dilanggar. Upaya penanaman nilai persatuan juga terus digaungkan. Musyawarah mufakat demi rakyat pun masih dijadikan panutan walau kenyataan pembuatan kebijaksanaan nampaknya mulai jauh dari itu. Kengininan mewujudkan keadilan sosial menyeluruh pun masih digemakan. Walau semua itu masih belum optimal diamalkan, namun sebagian besar masyarakat yakin bahwa hal itu penting. Lantas apa masalah sila - sila ini belum mengakar kuat?

Ketuhanan Yang Maha Esa. Sila pertama dasar negara kita. Apa yang spesial? Sila ini menjiwai seluruh sila lainnya. Artinya, tanpa nilai - nilai dari Sang Pencipta, pengamalan sila lainnya akan menjadi kosong tanpa jiwa. Dan sayangnya,    ini yang sering dilupakan dan kerusakan serta permasalahan Indonesia berawal dari sini.

Bagaimana tidak? Nyatanya, persyaratan - persyaratan menjadi pejabat negara tertinggi sampai terendah menyaratkan si calon harus beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Namun, kriteria luhur ini yang malah paling sedikit diuji, kalah dibanding rekam jejak profesi, kecerdasan, pengalaman dan kriteria lainnya. Padahal tanpa ketaqwaan kepada Sang Maha Kuasa, semua tadi sia - sia. Alhasil, pejabat cerdas pembohong rakyat pun duduk di kursi kebesaran. Bukan rakyat saja, Penciptanya pun ia tipu. Lihat bagaimana bangganya dulu mereka bersumpah atas nama Sang Maha Kuasa. Kalau kriteria utama bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa menjadi prioritas, sumpahnya kepada Pencipta akan membuat hati itu tak berani bahkan sekedar berniat untuk menipu rakyat. Bukankah amanat itu berasal dari Sang Kuasa melalui rakyat sebagai hamba-Nya?? Maka kalau semua pejabat di seleksi ketat dalam kriteria ini, langkah mereka akan berada di jalan yang lurus.

Lagi, permasalahan masyarakat sehari - hari, korupsi, pembunuhan, pemerkosaan, dan tindak kejahatan lain sejatinya pemberantasannya tak bisa berhenti pada penindakan hukum semata. Dengan pengoptimalan nilai - nilai religius dari Sang Maha Pengasih di setiap generasi bangsa maka harapan masa depan yang lebih baik bukan sekedar ucapan belaka. Pendidikan religi nilai - nilai keagamaan seharusnya lebih dimaksimalkan. Bagaimana bisa pendidikan religi pembentuk moral pribadi berkualitas harus kalah dengan pelajaran matematika dalam perebutan jam pelajaran sekolah?? 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline