Mulai bulan Januari sampai sampai awal Februari 2021 beberapa daerah di Indonesia terendam banjir. Sebenarnya, banjir yang terjadi di beberapa daerah tersebut bukan merupakan hal yang baru karena hampir di setiap musim penghujan, luapan air sungai atau intensitas hujan yang sangat tinggi akan menyebabkan pemukiman terendam banjir.
Masyarakat di daerah rawan banjir juga sudah sangat paham akan rutinitas tahunan ini. Hal itu terlihat dari cara mempersiapkan diri dengan mempunyai tempat khusus di langit-langit rumah untuk menyimpan prabotan dan dokumen penting agar tidak terbawa air saat banjir datang.
Banyak isu bermunculan mengenai penyebab terjadinya banjir. Mulai dari pola hidup yang tidak baik seperti kebiasaan membuang sampah sembarangan, padatnya pemukiman di daerah aliran sungai (DAS), penebangan hutan untuk kepentingan industri dan/atau membuka lahan baru, sampai dengan masalah teknis seperti tidak berfungsinya pompa penyedot air di daerah tertentu serta isu-isu lainnya.
Dari sekian banyaknya penyebab banjir, salah satu isu yang munyertai banjir pada awal tahun 2021 ini adalah faktor lingkungan akibat dari tindakan pabrik (perusahaan) yang mengabaikan faktor lingkungan. Seperti masalah banjir Kalimantan Selatan yang disinyalir adanya indikasi akibat banyaknya pembukaan lahan untuk perkebunan dan pertambangan, serta masih banyaknya bekas galian tambang yang tidak direklamasi kembali.
Meskipun hal tersebut masih menjadi kontroversi karena beberapa pihak menyebutkan bahwa penyebab banjir tersebut adalah curah hujan yang sangat tinggi dan efek dari fenomena La Nina.
Terlepas dari semua kontroversi itu, artikel ini akan mencoba membahas mengenai tarik ulur antara kepentingan perusahaan untuk mendapatkan keuntungan dan praktik bisnis yang sustainable, serta dampak banjir bagi kepentingan perusahaan.
Perusahaan memutuskan untuk "tidak bersahabat" dengan faktor lingkungan sebenarnya bukan tanpa alasan. Terdapat anggapan bahwa berbisnis dengan memperhatikan lingkungan akan memberikan dampak negatif karena perusahaan harus mengeluarkan sumber daya lebih banyak.
Misalkan untuk membuat instalasi pengolahan air limbah (IPAL), membuka lahan baru tanpa membakar hutan, atau mereklamasi kembali bekas galian. Semua itu merupakan beban yang akan mengurangi pendapatan perusahaan.
Padahal, praktik bisnis yang memperhatikan faktor lingkugan jika dilihat dari sisi yang lain sebenarnya akan memberikan keuntungan kepada perusahaan dalam jangka panjang.
Di beberapa negara maju, melakukan suatu bisnis tanpa memberikan perhatian lebih terhadap lingkungan, sosial, dan tata kelola yang baik (Environmental, Social, Governance), akan sangat berisiko bagi perusahaan.