Lihat ke Halaman Asli

Faishal Hazza

Mahasiswa Ilmu Komunikasi Syari'ah alias KPI

Rindu Hangatnya Kamar Kost saat Badai di Gunung Lawu

Diperbarui: 19 Maret 2023   07:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumen Pribadi

Pertengahan Februari, langit sedang hujan-hujannya. Tetap saja, aku dan kawanku menjadwalkan pendakian ke Gunung Lawu. Perjalanan kami motoran dari Solo menuju Karanganyar pun dibasahi hujan yang secara random turun tiba-tiba, belum apa-apa sudah basah duluan. Ketika sampai di Tawangmangu kami disambut dengan kabut tebal dengan jarak pandang sekitar 3 meter, sehingga agak memperlambat perjalanan kami. Baru kali ini aku lihat kawasan wisata Tawangmangu sepi dari wisatawan dan ngabers, cuacanya kurang bersahabat. Duh, kurasa cuaca ini menegur kami untuk tidak mendaki ke Lawu.

Saat sampai di posko pendakian Cemoro Sewu, cuaca tiba-tiba panas, cocok untuk mendaki. Setelah wara-wiri mengurus administrasi dan berdoa pada ilahi, kami mulai mendaki. Cuaca yang cerah tiba-tiba menjadi hujan deras, kami langsung menepi untuk memakai jas hujan. Jalur awal pendakian masih mudah, karena konturnya masih tergolong landai dan tak banyak bebatuan. Sial, sebelum sampai pos 1 pun kami sudah basah kuyup karena hujan dan angin kencang. Sesampainya di pos 1, kami bersua dengan rombongan yang baru turun dari atas, mereka bilang hanya sampai pos 2 saja, karena cuaca menciutkan nyali mereka.

Setelah berbagai drama, kami baru sampai di pos 2 saat sore hari. Maklum, kami berjalan sangat lambat, karena jalurnya yang curam dan licin karena hujan. Di pos 2 kami berjumpa dengan rombongan om-om dari Wonogiri, mereka mengurungkan niat untuk ke puncak, katanya cuaca di atas badai ga karu-karuan. Kami istirahat sebentar di pos 2, shalat jama' takhir dan ngemil. Sial, di pos 2 ini aku berpikir apa bisa dengan cuaca yang badai begini bisa mendaki sampai puncak, aku sempat terpikir untuk turun saja tidak melanjutkan ke atas.

Kemudian aku bertanya pada kawan-kawanku, "Yakin nih tetap mau ke atas? Cuacanya lagi gak bersahabat". Mereka serempak menjawab untuk terus naik ke atas, apapun yang terjadi. Baiklah, aku ngikut mereka saja. Kami sepakat untuk bermalam di pos 3, kemudian melanjutkan pendakian sampai puncak saat dini hari. Jalur semakin ekstrim, begitupun juga cuacanya. Badai mengiringi setiap langkah kaki kami, angin kencang disertai hujan, cukup menggetarkan langkah kami.

Akhirnya kami sampai pos 3, bertepatan dengan waktu magrib. Beruntung, ada shelter di pos 3, kami pilih untuk stay disitu, sebab tidak bisa mendirikan tenda dengan cuaca seperti itu. Kami menghangatkan diri, ganti baju, ya pokoknya menyamankan diri senyaman mungkin. Kami asyik bercanda ria di tengah badai, saling bercerita ngalor-ngidul.

Sampai akhirnya pun kami saling terlelap, tidur dalam bayang-bayang badai. Aku pun kebagian tidur di pinggir shelter, dekat pintu masuk yang ditutup dengan fly-sheet untuk menghalau angin kencang. Sial, aku tidak bisa tidur, selain cuaca yang sangat dingin, di luar shelter juga terjadi badai yang suara anginnya wush-wush-wush. Aku heran, kawan-kawanku pada bisa tidur semua dengan keadaan seperti itu. Upayaku untuk tidur sepertinya percuma, genteng shelter yang berada di atasku bocor dan meneteskan air yang membasahi sleepingbag-ku.

Selama aku berbaring kedinginan, aku memejamkan mata dan membayangkan hangatnya kamar kost-ku di Jogja. Sial, jauh sekali aku berada di 3000-an Mpdl. Aku terus membayangkan dalam imajinasi nyamannya tidur di kost, mensyukuri nikmat Allah yang tidak pernah kusadari selama ini. Empuknya kasur yang kerap melalaikanku dari produktifitas juga kurindukan. Sial, memang benar kita akan lebih mensyukuri sesuatu ketika sudah tiada di hadapan kita. Aku juga membayangkan sedang apa teman kost-ku sekarang? Sepertinya mereka sedang begadang push-rank mobile legend. Yah, intinya aku jadi semakin bersyukur punya kesempatan tinggal di kost.

Pada akhirnya kami mengurungkan niat untuk naik ke puncak Lawu, memilih untuk turun menurunkan ego untuk ke atas. Terima kasih, pengalaman berharga yang tidak semua orang bisa merasakannya. Bersyukur, tiada kata selain ini untuk menggambarkan pengalaman ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline