Lihat ke Halaman Asli

Sepenggal Kisah dari Palestina; Kakek Meninggal dan Aku Dilarang Melihatnya

Diperbarui: 25 Juni 2015   08:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kakekku, Ibrahim Hasan Alsaafin berumur 84 tahun, lebih tua dari negara Zionis Israel ketika meninggal pada hari Senin lalu di Kamp Pengungsian Khan Younis. Ia masih mendambakan untuk kembali ke desanya di al-Fallujah selama 64 tahun, yang hanya berjarak 15 mil."

---

Aku tak akan pernah lupa percakapan menggelikan pada musim panas 2005 lalu. Hari itu, semua anggota keluarga pergi ke pantai. Saat matahari mulai tenggelam, ayahku memesan argilah. Tiap kali dia berhenti menghisap untuk bicara, aku mengambil pipanya dan menghisapnya beberapa kali, cukup membuat ibuku meradang. Melihat ayahku tidak keberatan anak perempuannya yang masih 14 tahun menghisap argilah, ia mengadu pada kakek yang duduk disampingku dan pura-pura tidak memperhatikan. Bagaimana pun, karena permintaan ibuku, ia bertindak.

"Linah, aku tidak suka melihat penampilanmu," suaranya terdengar melebihi setengah pantai Gaza. "Kamu cuma kulit dan tulang. Di usia ini, kamu seharusnya penuh semangat hidup! Dulu, wanita-wanita muda itu seperti ini-" dia membuat bentuk lekukan dengan kedua tangannya yang besar- "dan seperti ini!" Sebuah gerakan melekuk lainnya. "Kamu kurang makan. Badanmu seperti anak-anak." Ia makin semangat, sedangkan aku semakin dalam tenggelam di kursi yang ku duduki, pipiku terbakar, sangat sadar akan tatapan orang-orang di kursi sebelah. "Kamu harus makan daging! Daging yang banyak! Dan buah-buahan! Daging dan buah! And berbagai macam kacang!" Aku membayangkan jika pilot pesawat F-16 di atas bisa melihat gerakan liar Sido atau bahkan mungkin mendengar suaranya. "Makan! Makan daging, buah dan kacang-kacangan! Makan agar dadamu bisa tumbuh! Tapi merokok? JANGAN!"

Aku tidak tahu apakah harus tertawa atau menangis karena malu. Ia memilih kata yang lazim terdengar dalam bahasa Arab.

"Tapi kamu merokok," kukatakan dalam suara pelan, putus asa menutupi penghinaan di tempat umum.

"Aku merokok karena sudah melakukannya bertahun-tahun, puluhan tahun! Sejak aku masih muda, sudah kecanduan, aku tak bisa menghentikannya."

"Kamu bisa memakai plester nikotin di lengan."

"Yang menciptakannya adalah orang bodoh. Itu tidak berguna."

"Baiklah, ada permen karet khusus yang bisa kamu kunyah -"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline