Di atas dermaga harapan aku masih mematung. Sekali begitu, pandanganku liar menikmati pesona senja dengan cahaya merah menerobos setiap celah. Petala berubah menjadi jingga seperti luapan api dari tungku ibu menanak nasi buat makan malam. Sementara, di garis pantai sisi kiri dermaga, terlihat pohon Mangrove yang kokoh berdiri tanpa sedikit mengerakkan dedaunannya. Iya, sebab sore itu angin terlalu pelan dan bahkan pelan sekali seperti siput yang merangkak.
Perlahan aku arahkan pandanganku ke arah perahu-perahu nelayan di kejauhan. Perahu-perahu itu terlihat mulai menghampiri pantai. Harapanku, semoga mereka pulang membawa untung sehingga setiap istri dan anak mereka berbahagia menyambut mereka di atas pasir.
"Bang, ayo bentor sudah menunggu kita di depan." Ucap Akbar yang langsung mengurai lamunanku.
"Oh iya, aku langi menyimak Halmahera yang luas dengan punggungnya yang masih hijau." Jawabku pelan.
"Iya Bang, Halmahera memang kaya. Aku adalah sekian orang yang mengaguminya."
"Tidak hanya engkau, aku juga demikian juga Azzahraku yang selalu bercerita tentang kekagumannya terhadap Halmahera."
"Wah, rupanya abang rindunya pada Azzahra yang ada di kota tua." Akbar bergurau dengan sedikit tawa.
"Rupanya kau bisa membaca pikiranku." Ujarku dengan sedikit senyum.
Kami pun bergegas menuju ke arah bentor. Namun sebelum aku arahkan pandanganku ke kota tua sembari berujar pada angin.
"Ketahuilah Azzahraku, bahwa rindu ini adalah milikmu."