Rasanya aku adalah orang yang tak pandai menyimpan kenangan. Entah gerangan apa membuat aku harus berurusan dengan semua ini. Berurusan dengan kenangan yang membawaku pada luka lama. Lebih mengherankan lagi, aku terjebak dalam ingatan yang semakin nyata. Setiap detil percakapan dan perbuatan melekat kuat.
Aku yakin, pasti ada dalang dibalik ini. Tapi siapa? Eits, aku ingat dulu, apa yang terjadi semalam sampai aku terjebak dalam kondisi yang tak mengenakan ini. Ah, tapi aku tak mampu mengingatnya.
Apa iya, aku habis diberi minum botol kenangan yang ku simpan rapat di kulkas? Tapi, bukankah hanya aku yang tau tentang botol itu. Jika demikian, maka aku yakin ada yang mengintipku diam-diam meletakkan botol kenangan kemarin.
Aku harus memerikasana di salam lemari pendingin tempat kusimpanya botol kenangan itu. Dan benar saja, botol kenangan itu tidak ada disana. Padahal telah aku simpan rapat dan aku rahasiakan ke semuahnya.
Kini, aku semakin yakin diberi minum botol kenangan itu membuat aku ingat betul kenangan di Ake Rica. Tapi yang lebih mengherankan lagi, tidak semua kenangan saat aku disana. Hanya sepotong cerita yang betul-betul aku ingat. Ya, sepotong kenangan aku bersama Humaira dua tahun lalu..
Rupanya si pengarang itu telah memperdayaku. Aku yakin, dia orangnya. Hanya dia satu-satunya orang yang memegang kendali semua ini. Tapi kenapa dia harus melakukanya? Bukankah dia tau bahwa cerita ini kurang mengenakan bagiku?.
Jika begini carahnya, aku harus punya cara untuk keluar dari cerita ini. Selihainya dia aku juga punya kesempatan yang sama, akan aku ikuti dia sampai dia lenga.
Sebentar lagi, si penyair itu memulai ceritaku dengan Humairah. Tak apa, aku akan menurutinya agar bisa cepat-cepat keluar bila tidak aku temukan celah untuk keluar lebih awal.
***
"Sehatkah kau hari ini?" Ucapnya siang itu di bawa ketapang di sudut pantai Ake Rica.
"Iya, masih dalam lindunganya. Aku sehat."
"Tapi kenapa wajahmu pucat pasi?"