Pak tua, yang saban hari menjejalkan es cendol seputar benteng juga suda tutup warung. Hanya menyisahkan beberapa pasangan muda mudi yang memaduh asmara di pojok kiri benteng, juga beberapa gerombolan para musafir intelektual yang bersemedi dipelataran taman tepat didepan benteng.
Saya duduk di atas meriam yang letaknya dipelataran tepat di depan pintu masuk benteng. Saya terdiam, sembari melihat dan mengamati purnama yang perlahan merangkak naik lepas dari ufuk. Lampu lampu merkuri di sisi kiri dan kanan satu per satu juga terlihat mulai dinyalahkan. Sesaat, imajinasi tentang bait-bait puisi datang membuntuti isi kepala. Tak lama, naluri kemudian menuntun jari jemari untuk mulai bermain di atas layar handphone dengan ukiran bait cinta.
Di bibir pasif kutaru harap
Di unjung halmahera kutaru jarak
Di awal hari kutaru doa
Di ahir senja kurayu usia
Pada jarak yang seabat usiahnya
Tembok-tembok yang mulai keropos
Di tanah tua, pala, cengkih juga kelapa berdiri pucat
Dedaunan gugur dari ranting yang kian keropos...
Sesaat imajinasi saya terhenti, jari jemari saya serasa kaku, tak bisa melanjutkan apa yang hendak saya tulis. Kepala serasa pening, banyak tanya menghujani isi kepala. Pikiran lalu membawa saya pada barisan kata dari narasi di sebuah media.
"Timur dalam himpitan tambang". Sebuah narasi yang tak henti mengias dinding akali, sesekali hilang kemudian balik. Padahal sudah beberapa waktu lalu saya baca. Namun masih saja bergelayut dalam ruang pikir. Tulisan yang menurut saya menelanjagi mereka yang adi kuasa. Mengungkap fakta bagaimana nasib mereka dipelataran tambang terlucuti.
Saya bertanya-tanya dalam diri. "Ditanah ini dulu kekayaan alam dikeruk, para moyang kami menderita dan sudah mati ulang-ulang. Bukankah apa yang mereka lakukan saat ini tak lain seperti dulu?"
"Ini yang namanya penjajahan gaya baru" jawab saya mencoba
"Jika demikian, apa mereka tak pikir"? Saya menimpali lagi.
Di tanah tua, dan paling tua mereka datang mengeruk hasil. Tanpa pikir, mereka habisi semua ladang, memusnahkan tanaman cengkih, pala dan juga kelapa. Ladang warga diambil alih tanpa kompromi, para pemilik tak sempat melakukan pembelaan diri. Saya tak bisa menafsirkan lebih jauh lagi.
Saya fikir dan langsung merasa bahwa diri saya gagal. Entahlah, mungkin karena saya seorang abdi negara yang tak merasakan bagaimana susahnya jadi petani. Atau tak bisa merasakan nasib seorang penjuang yang mempertahankan para mereka rakyat kecil.