Lihat ke Halaman Asli

Faisal Wibowo

Kang Wowo

Gender dalam Perspektif Yahudi

Diperbarui: 24 Juni 2015   21:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian pesat telah membawa dunia pada era yang disebut dengan globalisasi. Era ini ditandai dengan munculnya perubahan-perubahan fundamental dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Lahirnya knowledge society yang ditandai dengan dominasi otoritas ilmu pengetahuan dalam kehidupan manusia dan munculnya “global village” yang semakin memperkecil makna perbedaan jarak, ruang dan waktu, memberikan dampak yang signifikan terhadap kehidupan manusia, baik positif maupun negatif. Di sisi lain, hegemoni ilmu pengetahuan modern memunculkan kritik feminis yang mengoreksi dan menolak kebenaran universal epistemologi positivistik yang sesungguhnya merupakan konstruksi sosial yang bersifat partikular, sarat dengan bias kultur dan gender.

Menurut Azyumardi Azra, gender merupakan perbedaan peran antara perempuan dan laki-laki yang dibentuk oleh budaya. Perbedaan peran ini sudah demikian melekat dalam masyarakat, sehingga diasumsikan sebagai peran kodrati. Hal tersebut tidak akan menimbulkan masalah selama tidak memunculkan ketimpangan relasi gender dan peran gender. Atau dalam pengertian lain bahwa gender adalah perbedaan tingkah laku antara laki-laki dan perempuan yang secara sosial dibentuk perbedaan yang bukan kodrat ini diciptakan melalui proses sosial dan budaya yang panjang.

Isu gender menjadi agenda penting dari semua pihak karena realitas perbedaan gender yang berimplikasi pada perbedaan status, peran dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan yang menimbulkan ketidakadilan gender atau diskriminasi maupun penindasan. Ketidakadilan ini dapat terjadi di berbagai bidang kehidupan, baik dalam wilayah domestik maupun publik, dalam bidang pendidikan, kesehatan, keamanan, ekonomi, politik, maupun pembangunan secara lebih luas. Problem ketidakadilan gender ini dalam banyak kasus menjadi isu yang cukup sensitif dan tidak mudah dipecahkan, terutama ketika terkait dengan doktrin agama, bahkan seolah-olah mendapatkan legitimasi teologis. Pada kesempatan ini akan dibahas mengenai bagaimana relasi gender dalam agama Yahudi.

Dalam tradisi Yahudi, perempuan di satu sisi digambarkan sebagai mahluk yang kuat, baik dan sopan, seperti: Batsheba sebagai perempuan yang pandai, Deborah seorang nabi perempuan, Ruth seorang yang terpandang dan Esther seorang juru selamat rakyatnya. Namun, dalam tradisi Yahudi juga ditemukan ajaran bahwa perempuan merupakan asal mula dosa dan juga melalui perempuan manusia akan mati. Laki-laki harus bekerja dan perempuan harus melahirkan dalam kesakitan. Perempuan yang sedang menstruasi dan 7 hari selebihnya dianggap kotor dan tidak suci, bahkan harus disembunyikan di goa-goa gelap atau diasingkan dan sebagainya. Perempuan yang melahirkan, 33 hari dianggap kotor apabila anaknya laki-laki. Kalau anaknya perempuan, maka masa tidak sucinya /kotornya menjadi berlipat. Jika telah selesai masa tidak sucinya, ia harus mencari pendeta untuk membuat penebusan dosa untuknya. Bahkan dalam Talmud, ada teks doa: “saya berterimakasih pada-Mu Tuhan, karena tidak menjadikanku perempuan.”

Dalam agama Yahudi, laki-laki mempunyai posisi yang lebih dominan dibandingkan dengan perempuan. Dominasi ini menciptakan ketidakadilan gender. Ketika suatu perbuatan itu dilakukan oleh laki-laki, maka dianggap sebagai suatu kebenaran.

Gender dalam pandangan Kitab Suci Perjanjian Lama misalnya dalam kaca mata Yahudi sarat dengan pandangan tentang Allah sebagai Bapa yang mahakuasa, suka marah, menghukum. Pandangan Allah sebagai Bapa dalam masyarakat Yahudi ini menunjuk pada dominasi laki-laki, sehingga dasar membuat pranata kehidupan juga atas dasar pandangan laki-laki. Dominasi ini menciptakan ketidakadilan dalam masyarakat yang menggeser perempuan tanpa disadari oleh kaum perempuan itu sendiri. Pranata kehidupan yang dibuat atas dasar peran laki-laki dianggap sebagai suatu kebenaran. Perbedaan biologis di antara manusia menjadi objek dasar pembuatan pranata kehidupan (pandangan seksis). Kitab Kejadian, Keluaran, I Raja-raja, II Raja-raja, Yesaya, Yeremia, Yehezkiel, Hosea, dalam Perjanjian Lama sangat sarat dengan peringatan akan penguasa sewenang-wenang yang membuat pranata kehidupan tidak manusiawi ini. Dalam pandangan Yahudi, martabat perempuan sama dengan pembantu. Mereka menganggap perempuan adalah sumber laknat karena dialah yang menyebabkan adam diusir dari surga.

Seperti halnya dalam hukum waris agama Yahudi bahwa anak laki-laki lah yang merupakan pewaris utama dari orang tuanya. Kalau anak laki-laki ini banyak maka yang tertua lah yang lebih utama, dan memperoleh warisan dua kali lipat dari bagian saudara-saudara yang lain. Sedangkan anak perempuan yang belum berumur dua belas tahun tidak berhak menerima warisan.  Dalam hukum perkawinan agama Yahudi poligami diharuskan dan jumlahnya tidak dibatasi, karena tidak terdapat larangan dan batasan untuk itu. Kedudukan seorang istri atau anak perempuan berdasarkan hukum Yahudi adalah lemah sekali. Seorang wanita yang sudah dikawinkan, menjadi seolah-olah dibeli oleh suaminya dari bapaknya, dan suaminya menjadi tuannya. Ia tak ubahnya sebagai anak kecil atau burung patah sayap. Ia tak berhak membeli ataupun menjual. Semua harta bendanya menjadi milik suaminya. Istri tidak berhak memiliki apa-apa selain maskawin yang diterimakan kepadanya.  Disamping itu, kaum wanita sebagai istri wajib melakukan semua pekerjaan rumah tangga, baik yang berat maupun ringan. Kewajiban ini harus dilaksanakan dengan taat.

Sementara dalam buku Fundamentalism and Woman in World Religions, yang diedit oleh Arvind Sharma dan Katherine K. Young, dijelaskan: As we shall see, women’s roles are a profound symbol of the extent to which Jewish societies accept—or reject—modernity and Westernization. (Seperti kita akan lihat, peran perempuan adalah simbol yang mendalam sejauh mana masyarakat Yahudi menerima atau menolak--modernitas dan westernisasi). Artinya, dalam masyarakat Yahudi kontemporer justru perempuan mendapatkan penilaian khusus dengan menjadi sebuah simbol diterima atau ditolaknya modernitas dan westernisasi.

Dalam kehidupan Yahudi Kontemporer, keberadaan gender menjadi salah satu kunci penting untuk memahami peran fundamentalisme, yang berdampak pada konstruksi identitas perempuan yahudi, budaya yahudi, dan kehidupan perempuan yahudi. Contemporary social scientists assume that while certain aspect of sexuality are biologically determined, gender roles are constructed by societies.(Ilmuwan sosial kontemporer mengasumsikan bahwa sementara aspek-aspek tertentu dari seksualitas secara biologis ditentukan, peran gender yang dibangun oleh masyarakat).

Dalam upaya membangun tatanan baru dunia, pejuang Feminis Yahudi dan Kristen, berusaha melakukan koreksi terhadap dominasi laki-laki atas teologi dan marginalisasi serta eksklusi perempuan dari wilayah agama. Mereka mengembangkan teologi feminis, sebagaimana yang muncul di Inggris sejak abad ke-17. Teologi feminis berupaya membaca ulang teks suci dari perspektif perempuan dan mencari dasar teologis bagi pengakuan harkat dan martabat perempuan.

Berbicara mengenai gender berarti membicarakan peran dan hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Hubungan laki-laki dan perempuan pada dasarnya adalah hubungan antara umat manusia. Apapun yang baik dalam hubungan antara satu manusia dengan manusia yang lain, adalah baik dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan dengan menghindari ketidakadilan gender (gender inequalities).  Baik bagi kaum laki-laki maupun perempuan. Perbedaan gender tidak menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan, tetapi ia menjadi persoalan karena perbedaan gender ini seringkali menimbulkan ketidakadilan. Adapun bentuk-bentuk ketidakadilan gender dimaksud adalah stereotipe, marjinalisasi, diskriminasi, tindak kekerasan dan beban kerja. Oleh karena itu diperlukan upaya menciptakan relasi laki-laki dan perempuan yang adil dan harmonis.

Menurut Erich Fromm seorang Yahudi, seorang Psikoanalisis Sosial berkebangsaan Jerman yang juga merupakan anggota Partai Sosialis Amerika era 1950-an, ia menyatakan bahwa hubungan antara kaum laki-laki  dan kaum perempuan  adalah hubungan antara sebuah kelompok yang menang dan yang kalah. Di Amerika Serikat tahun 1949 hal ini dianggap lucu ketika mengatakan demikian, apalagi di zaman sekarang ini. Karena sudah jelas bisa kita lihat, kaum perempuan di kota-kota besar tentu saja tidak tampak, tidak merasa, dan tidak bertindak seperti layaknya kelompok yang kalah. Dia menambahkan kaum perempuan telah menyelesaikan emansipasinya, dan oleh sebab itu berada sejajar dengan kaum laki-laki, dan membuatnya bisa tampil.

Sumber Referensi:

Fromm, Erich. Cinta, Seksualitas, dan Matriarki. Jalasutra, Yoyakarta & Jakarta 2007.

Sharma, Arvind & Young, K, Katherine. Fundamentalism and Women in World Religion. New York, T & T Clark International. 2008

Sumbulah, Umi. Artikel: Agama dan Keadilan Gender.

Pusat Studi Islam UII, Makalah Diskusi Gender Agama Katolik.

Zubaedah, Siti. Mengurai Problematika Gender dan Agama. Jurnal Studi Gender dan Anak Vol.5 No.2 Jul-Des 2010 pp.243-260, Pusat Studi Gender STAIN Purwokerto.

Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hal. 161.

Siti Zubaedah, Mengurai Problematika Gender dan Agama. Jurnal Studi Gender dan Anak. Pusat Studi Gender STAIN Purwokerto, hal. 2

Umi Sumbulah ( Dosen Fakultas Syari’ah UIN Malang, Sekretaris PSG UIN Malang dan Kandidat Doktor IAIN Sunan Ampel Surabaya). Agama dan Keadilan Gender.

Dikutip dari makalah diskusi gender dalam agama katolik, UII Pusat Studi Islam.

Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an. h. xxviii

Ali, Mukti. Agama-agama di Dunia. h. 327-328

Arvind Sharma and Katherine K. Young, Fundamentalism and Woman in World Religions. T & T Clark International. New York, 2008, hal. 77

Ibid, h. 80

Ibid, h. 81

Siti Zubaedah, Mengurai Problematika Gender dan Agama. Jurnal Studi Gender dan Anak. Pusat Studi Gender STAIN Purwokerto, hal. 7

Erich Fromm, Cinta, Seksualitas, dan Matriarki. Jalasutra. Yogyakarta dan Bandung, 2007, hal. 144

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline