Oleh : Nawir 'Betok'
Gunung Bawakaraeng dengan ketinggian 2830 mdpl berada di wilayah Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Secara ekologis, gunung ini memiliki posisi penting karena menjadi sumber penyuplai air untuk Kabupaten Gowa, Kota Makassar, Kabupaten Bantaeng, Kabupaten Bulukumba, dan Kabupaten Sinjai.
Terlepas dari letak geografis, mitos, tragedi dan cerita mistisnya, Gunung Bawakaraeng memiliki keistimewaan sendiri bagi mayarakat yang hidup di lerengnya. Banyak masyarakat yang memandang Gunung Bawakaraeng sebagai tempat 'suci' yang sangat sakral sehingga butuh persiapan yang matang untuk berkunjung ke gunung yang oleh masyarakat sekitar diberi nama 'Tana Lompoa' ini.
Bukan hanya fisik, mental, alat pendakian dan bekal makanan yang perlu untuk dipersiapkan. Namun yang paling penting adalah pemahaman tentang etika. Etika ini yang menjadi pesan para leluhur bagi generasinya ketika menginjakkan kaki di tempat yang juga banyak dipercaya oleh masyarakat sebagai tempat pertemuan para wali.
Sejak kecil hingga saat ini, saya banyak mendengar dari orang-orang yang pernah diberi petuah dari para leluhur tentang etika ketika berkunjung ke Gunung Bawakaraeng . Pesan-pesan tersebut secara turun temurun dipegang teguh sebagai kearifan masyarakat sekitar.
Beberapa yang sering saya dengar (bahkan selalu diingatkan), yaitu Ellako Sambarang Alle (Jangan Mengambil Sesuatu Sembarangan), Ellako Sambarang Kua (Jangan Berbicara Sembarangan), Ellako Sambarang Ta'bang (Jangan menebang Sembarangan), Ellako Sambarang Rantassi (Jangan Mengotori Sembarangan).
Perlu diingat pula bahwasanya setiap aturan yang dilanggar tentu memiliki konsekuensinya masing-masing. Petuah leluhurpun demikian. Konsekuensinya disampaikan dan disebutkan dengan cara membangun doktrin atau konstruksi ketakutan-ketakutan bagi semua yang berpotensi melanggarnya. Salah satu konsekuensi yang sering disebutkan adalah Na Pattau Pakkammi'na Tana Lompoa (Ditegur oleh Penjaga Gunung Bawakaraeng).
Para penggiat alam bebas, baik yang berhimpun dalam lembaga kepecintaalaman ataupun non-lembaga kepecintaalaman tentu tidak terlepas dan tidak asing mengenai etika tersebut. Hanya saja etika tersebut bentuknya tersurat dalam Kode Etik Pecinta Alam, baik yang berskala nasional maupun internasional yang dianggap sebagai pondasi tentang cita-cita pelestarian.
Pesan tersirat yang sarat akan makna dari para leluhur telah membuktikan bahwa etika memang merupakan sebuah norma dan nilai yang tidak terlepas dari kehidupan manusia. Ia adalah perihal akhlak atau moral yang sepatutnya memang harus ada sejak dalam pikiran, ucapan, terlebih lagi dalam tindakan. Sebab segala sesuatu yang terjadi akan selalu ada hukum kausalitas (sebab akibat).
Lestari Alamku, Jayalah Bangsa dan Tanah Airku!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H