Entah empunya karya dianggap mati atau tidak, bagi saya tidak ada masalah. Malah, kadang-kadang saya berpikir bagaimana melepaskan diri dari karya sastra dan author-nya sekaligus.
Jika Barthes dengan baik hati berpikir keras untuk membuatkan kita tutorial bagaimana memandang sebuah karya sastra, maka izinkanlah saya sebagai manusia (sama dengan Barthes) menawarkan tutorial serupa: matinya sebuah karya.
Nindhi, hmm, ya, semoga engkau sabar menunggu mesin waktu saya jadi untuk kau kendarai menuju nostalgia sastra Indonesia tempo dulu. Yang bahkan, kata “sosialita” pun tidak pernah ada.
Tutorial Barthes tentang The Dead of The Authorsaya katakan hanyalah sebuah produk. Sebuah karya juga. Alih-alih saya katakan sebuah teori. Itu adalah “penjara” bagi orang-orang yang sepakat. Untuk itu, saya sarankan Anda tidak sepakat dengan tutorial saya.
Bicara masalah “penjara” dalam konteks ini bisa luas dan panjang. Untuk memperpendek, saya ambil contoh idelisme mahasiswa.
Beberapa minggu lalu saya diundang berbicara dalam diskusi kecil di Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum Unesa. Mahasiswanya kritis-kritis. Salah satu mahasiswa berargumen mengenai pendidikan. Dengan segala macam teori para ahli, hapal nama dan bukunya, pula. Saya kagum, di samping itu juga miris. Tapi saya maklum. Itu tahap mereka. Saya apresiasi dengan tepuk tangan diikuti oleh peserta lainnya juga.
Menangkap Pola
Saya katakan kepada mahasiswa tersebut, “apa yang kamu peroleh dari tutorial pakar-pakar pendidikan itu?” Mahasiswa tersebut menjawab, “saya jadi tahu ternyata seperti itu model pendidikan yang ideal.” Saya menimpali lagi, “tidakkah kamu berpikir bagaimana para pakar tersebut berpikir?”
Saya yakin Anda paham maksud saya. Saya tidak ingin berhenti kepada produk-produk pikiran. Baik itu karya sastra ataupun karya-karya tulis lain. Namun, alangkah senangnya ketika kita memahami apa yang dipikirkan para produsen karya tersebut.
Memahami pola pikir seseorang kenyataanya memang tidak pernah benar-benar diajarkan di dunia pendidikan kita. Saya bahkan sempat berpikir, ini adalah pembodohan massal. Pemenjaraan global atas kebebasan berpikir yang dilegitimasi oleh gelar-gelar akademis.
Bahkan, lebih ekstrim lagi, adalah definisi-definisi yang menjadi batas dan penjara. Hingga saat ini, definisi kata cinta yang menurut saya masih bertahan atas pembatasan-pembatasan pengertian yang saklek. Namun, saya tidak menyangkal bahwa batas itu juga perlu. Atau saya akan menjadi bisu dan tak bisa berkomunikasi jika tanpa batas.