Lihat ke Halaman Asli

Rumput dan Hijau

Diperbarui: 4 April 2016   21:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

350 tahun dijajah bukan waktu yang singkat jika dilihat dari sudut pandang bangsa Indonesia.

Dalam kurun tiga setengah abad lebih itu, meski pada akhirnya lepas dan merdeka, membuat bangsa Indonesia memiliki ingatan sedih yang bisa saja hadir setiap waktu.

Ingatan sedih tersebut sepantasnya menjadi latar belakang bangsa yang kuat dan memiliki tingkat percaya diri di atas rata-rata, tetapi tidak alay dan lebay.

Akan lebih masuk akal jika ingatan masa suram dulu menjadi pelajaran berharga. Pondasi-pondasi bangsa Indonesia tidak perlu diragukan lagi.

Pada sisi paling bahagia dari kesedihan penjajahan masa lalu, kita perlu berterimakasih terhadap para kolonial. Mengapa?

Kolonial telah meng-“Ospek” kita begitu lama. Gratis. Saya menilai kita telah lulus dari cobaan yang menyedihkan. Jika tidak, mana mungkin Merah Putih berkibar dengan gagahnya. Dan kedaulatan sudah di genggaman.

Hari ini, kita adalah  keturunan bangsa pejuang yang bukan pengecut dan bukan penjilat. Seharusnya!

 

Rumput Tetangga Lebih Hijau?

Tidak selamanya rumput tetangga lebih hijau daripada rumput di pekarangan kita. Yang menarik, seringkali kita tidak menyadari bahwa hijau dan rumput itu tidak pernah benar-benar bersatu.

Rumput adalah sebuah materi. Sedangkan hijau adalah sifatnya. Jika yang kita iri adalah: rumput kita tidak lebih hijau dari rumput tetangga, maka itu salah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline