Lihat ke Halaman Asli

FBS Unesa, Diam Menghanyutkan atau Diam Sesungguhnya?

Diperbarui: 18 Juni 2015   01:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Diam-diam menghanyutkan. Nah, itu dia istilah yang pantas disematkan di Fakultas Bahasa dan Seni Unesa. Betapa tidak, fakultas yang serat akan seni ini setiap tahun selalu memberi kontribusi dalam mengharumkan nama Unesa, khususnya FBS.

Jika di Universitas maupun fakultas yang bercorak sains akrab dengan kompetisi robot, mobil listrik, dan tetek bengek lainnya, maka di FBS begitu akrab dengan kompetisi seni dan budaya yang bersifat bukan sekadar teknis lagi, tetapi rasa, estetika, dan ideologi yang dikemas dalam suatu karya: tari, lukis, sastra, peran, dsb.

Pada tahun 2014 ini, banyak even dalam bidang seni nasional maupun internasional yang harus diwakili oleh pejuang-pejuang FBS Unesa. Pada 2014 ini, misalnya, FBS telah mengantongi tiket untuk mewakili Jawa Timur dari beberapa jenis cabang lomba di Palangkaraya dalam Pekan Seni Mahasiswa Nasional atau biasa diakronimkan sebagai Peksiminas. Selain itu, beberapa mahasiswa Sendratasik di bulan ceria ini juga akan mengikuti lomba teater di Prancis.

Semangat dan keyakinan adalah kunci mahasiswa FBS untuk menggapai cita-cita. Bukan tidak mungkin mahasiswa yang diproyeksikan sebagai S.Pd ini akan menjadi lebih dari ekspektasi seorang guru, alih-alih bisa bersaing dengan para mahasiswa berbasis seni dan budaya universitas lain yang lebih profesional dan berinfrastruktur lengkap.

Jika pada tahun ini kita merasa ditindas dalam pembatasan kuliah selama lima tahun, itu bukan suatu masalah buat mahasiswa FBS. Bahkan, jika pun dipangkas lagi kuliah menjadi satu tahun langsung lulus, itu pun bukan masalah. Wong mahasiswa FBS ini dari dulu adalah kumpulan manusia estetis. Manusia yang merdeka dan memahami dirinya. Mereka memiliki daya kreasi tinggi. Kemampuan cipta, karsa, dan rasanya luar biasa. Kemampuan atau daya cipta inilah yang menjadi kelebihannya. Selain itu, mereka juga memiliki dua dunia yang bisa ditempati seenaknya: dunia imajinasi dan realitas. Mereka juga memiliki senjata masing-masing: yang rupa ya cat dan kanvas, yang tari ya tubuhnya sendiri, yang musik ya alat musik, yang sastra ya karya fiksi, yang bahasa asing yang bahasa asingya, dan lain-lain.

Sah-sah saja mahasiswa yang masuk adalah hasil dari filtering kampus berbasis kapitalistik. Toh juga manusia. Toh juga memang zamannya seperti itu. Maklum, masih jauh dari akreditasi  A. Ya, rupanya panas juga dengan kampus mantan IKIP tetangga kota yang meraih akreditasi A nomor tiga nasional. Itung-itung juga proses elitisasi sarjana, agar tidak meluber ke mana-mana dan menjelma menjadi: sarjana tambal ban, sarjana tap oli, atau sarjana konter HP dan sarjana-sarjana lainnya. Untuk itu, sangat sopan jika para mahasiswa baru meneruskan budaya FBS yang nggak ngalem, berdaya cipta, dan semata-mata bukan hanya untuk mendapatkan ijazah, ataau lebih parah lagi, gaya-gayaan sekadar kuliah dan menyandang gelar mahasiswa.

Lebih jauh, jika dilihat dari sistem filtering perguruan tinggi yang semacam itu, mahasiswa sekarang harus ngrumangsani atau merasa memiliki beban moral dan tanggung jawab yang tinggi karena iya atau tidak telah menyakiti, bahkan membunuhkesempatan orang lain yang mungkin lebih berbakat dan pantas mengenyam bangku kuliah. Sudah berapa ratus, bahkan ribu orang yang pantas kuliah di FBS ini, tetapi tersingkirkan karena tidak mampu membayar?

Pada intinya, saya tidak akan menyalahkan bagaimana kampus menyeleksi mahasiswa dengan angel atau sudut pandang demikian. Bagaimana mungkin sesuatu yang salah bisa disalahkan? Ya, sudah, menyesal adalah kesia-sian, seperti daun menunggu binasa sambil melihat mantan rantingnya.

Ini adalah kegagalan mahasiswa terbesar yang terjadi pasca 98. UKT, pembatasan masa kuliah, peng-apatisan mahasiswa terhadap realita dan bla, bla, bla lainnya melalui sistem yang seolah-olah keren, sah, dan ajek. Begitu kok tega-teganya mahasiswa sekarang nyeletuk harus move on dari peristiwa bersejarah itu, 1998. Ini membuktikan bahwa mahasiswa sekarang rela dirinya dijadikan matrial bangunan yang sampai kini juga tidak jelas bentuk bangunannya.

Kalau sudah rela, bahkan dengan otomatis memperjuangkan sistem yang ada sekarang, pem-PHP-an massal, maka inilah yang disebut dengan sakit yang sesungguhnya. Sakit batin. Sakit mental. Sakit yang tidak pernah nampak dan terdeteksi bahkan dengan alat yang paling canggih sekalipun.

Hal inilah yang mengusik ketenangan serta pikiran saya selama ini. Jangan-jangan kediaman FBS yang menghanyutkan itu berubah menjadi diam dalam arti sesungguhnya. Mahasiswanya diam, dosennya diam, pengetahuannya pun turut diam dan fakultatif, mengerti sedikit tentang sedikit hal. Lalu hanya gedung-gedung yang bergerak menuju progres yang menakjubkan mata, atau tulisan-tulisan hoax tentang FBSdi dalam media yang menyesatkan.

Untuk itu, mahasiswa FBS harus tetap struggling, berjuang untuk dirinya dan alam sekitarnya agar bermanfaat, berkembang, dan pada akhirnya mengabdi. Lalu di ending cerita setiap individu yang menggali pengetahuan, relasi, dan pengalaman di FBS ini menjadi manis. Tidak abal-abal, seperti fatamorgana di gundukan aspal. Fana!

Faisal Hakim

Surabaya , September, 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline