Lihat ke Halaman Asli

Eksodus Kodok Hijau

Diperbarui: 17 Juni 2015   15:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kodok hijau menyerang. BBM tempat pertemuan manusia modern bersosial ricuh. Bunyi-binyu notifikasi smartphone hiruk-pikuk saling bersahutan. Broadcast di BBM menjadi virus dadakan yang sesekali membuat keruh telinga. Ajakan untuk sportif di dalam permainan kodok hijau sekilas nampak bodoh saja, tapi bagaimanapun, ini yang mungkin dinamakan social kekinian, meski tampak menyedihkan ketika di dalam realitas individualistis, jika tidak boleh dikatakan autis.

Sayangnya, malam tak kunjung hujan. Bau keringat semerbak tak mau kalah dengan bau kodok. Gerah. Lepas baju. Menambah pelik suasana. Tidak bias tidur. Orang-orang menjadi kodok. Kodok cokelat. Beberapa tampak putih. Ada juga yang sedikit kemerahan. Kodok hijau belum mau berakhir. Sementara cuaca makin mendung. Pun dengan alunan galang rambu anarki yang terus terngiang bersahutan dengan notifikasi smartphone.

Kaget. Kutunggu pesan masuk dari seseorang. Penting. Lagi-lagi kodok hijau. Terpaksa kuabaikan. Bukannya tidak menghargai, tapi kodok adalah binatang yang kukategorikan makhluk pengganggu. Bagaimana tidak, kodok suka menggangguku ketika ibu susah payah bercerita untuk melelapkanku. Sementara kodok terus mengorek. Apalagi musim hujan seperti ini.

Desaku dulu waktu aku bocah. Indah dan sangat rindu. Pohon bamboo lebat di pinggiran sungai. Sawah membentang berselimut kabut. Hutan-hutan mengitari desaku. Nyanyian kodok ngorek sayup-sayup merdu nian meskipun kodok pada kenyataannya menyisakan kengerian yang mendalam. Begitu juga tikus, juga cicak. Tidak untuk ular.

Kini. Kodok kembali menyerbu. Sedangkan panglima jendral pembasmi kodok yang pernah kukanal belum muncul. Bahkan sekadar menghiburku bahwa aku baik-baik saja. Itu hanya di dunia maya sedangkan di dalam kenyataan tinggal cerita-cerita, begitu harapku.

Takutnya. Malam ini lelap dengan terpaksa, kemudian mimpi monster kodok memakanku. Sementara pahlawanku nan jauh di sana. Belum Nampak batang hidungnya. Kekhawatiran mulai menyelimuti perasaanku. Bulu kuduk berdiri seketika. Kodok bersama beribu pasukannya. Berpropaganda dan beragitasi mempengaruhi manusia. Tetanggaku, teman-temanku, bahkan saudaraku menyerangku!
Alamak, telingaku sakit. Mataku kabur. Kulitku mengelupas. Jari-jariku terserang kadas kurap. Kencing kodok ampuh. Mantel pun tembus. Apalagi? Tembok pun dijebol. Mereka banyak. Saling bergotong royong mendobrak benteng-benteng yang kubangun sejak kecil. Belum lagi kawan-kawan kodok seperti cicak dan tikus datang sebagai bala bantuan. Sekutuku saat ini hanya ular. Yang seringkali juga berteman dengan mereka—kodok, cicak, dan tikus.

Ular tidak bisa diharapkan. Semoga tidak berkhianat. Doaku sebelum tidur. Nyatanya, aku tetap saja ketakutan. Kodok eksodus kemari. Ular hanya diam tak bergerak. Tenang-tenang, katanya. Tidakkah ular tahu aku khawatir. Meragukan langkah ular yang saat ini di pihakku. Jangan-jangan ular hanya telik sandi mereka untuk memata-mataiku malam ini. Lalu, benteng-bentengku dengan mudah dihancurkan. Sebagaimana runtuhnya benteng-benteng di dalam stronghold crusader.

Ketika itu aku masih tidur. Pukul tujuh pagi panglima pembasmi kodok baru datang membangunkanku. Ia bawakan sekardus makanan. Di dalamnya ada tujuh macam jenis makanan. Tahu tek, nasi goreng, soto, bakso, rawon, rujak, dan terakhir bubur ayam. Lantas, aku harus membuka mata? Sedangkan semalaman sulit tidur?




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline