Pagi itu saya mengikuti rembug stunting di desa kami. Sebenarnya saya ogah-ogahan hadir forum-forum seperti itu, temanya gelap bagi saya. tema semacam itu lebih familiar dikalangan emak-emak.
Berhubung istri akan kewalahan jika harus memboyong balita ke acara itu, maka saya paksakan hadir. Pun kehadiran saya sebab kecurigaan terhadap si kecil anak kami. Di usianya yang menginjak belasan bulan, perkembangan berat badannya diluar rata-rata normal balita pada umumnya.
Selama ini, kami tak pernah dihantui GTM (Gerakan tutup mulut), semacam mogok makan pada balita fase usia tertentu. Anak kami bukan kategori itu. Asupan nutrisi pokoknya lewat ASI masih lancar, tetap diikhtiarkan sampai 2 tahun. Ia hanya bermasalah dengan susu formula, berbagai merk susu formula pernah kami berikan. Tak satupun cocok dilidahnya. Progres berat badannya tak kunjung membaik. Kami pun mulai di hantui stunting.
Data kasus stunting di Indonesia masih mengkhawatirkan. Hasil riset Studi Status Gizi Indonesia (SSGI), tahun 2021 balita stunting negeri ini masih mencapai 24%. Angkanya cukup tergolong tinggi dari standar yang ditetapkan WHO, yaitu 20%.
Berbagai cara telah diupayakan Kementerian Kesehatan menangani ini, tapi tak kunjung membuahkan hasil memuaskan. Padahal stunting pada intinya disebabkan kurangnya asupan balita terhadap akses makanan bergizi. Edukasi si Ibu soal pentingnya nutrisi apakah kurang memadai. Adakah yang salah dari program penanganan stunting selama ini? Negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi tapi balitanya masih dihantui 'cacat' fisik-mental tumbuh kembangnya.
Saya pun mulai bertanya-tanya soal besarnya angka-angka diatas. Sesuai fakta dilapangan kah? Bukan tanpa sebab, data yang bisa dijadikan rujukan masih simpang siur. Beberapa otoritas kesehatan mengamini soal ruwetnya data dengan kondisi riil dilapangan. Contoh kasus yang disampaikan Sekjen Koalisi Perlindungan Kesehatan Masyarakat (KOPMAS). Bahwa salah satu daerah di Jawa Barat, pengukuran timbang dan tinggi badan dilakukan oleh orang tua. Data tersebut kemudian dikirim ke RT, kemudian ke kader kesehatan. Ini kelalaian petugas kesehatan. Bisa jadi kondisi dilapangan kasusnya jauh lebih besar.
Dalam rembug stunting tersebut, tabir demi tabir seakan terbuka. Problem data dilevel desa pun ternyata bermasalah. Ternyata kelompok Kerja (Pokja) kesehatan di desa kami datanya berbeda dengan keterangan di kantor desa, pun pada level diatasnya, kecamatan. Saya membayangkan jika ini terjadi secara masif di seluruh Indonesia. Betapa besar tingkat bias atau kesalahan yang terjadi.
Kalau problem data ini terus-menerus terjadi, ditengah masifnya kampanye pemerintah memerangi stunting. bagaimana bisa merumuskan kebijakan yang tepat. Naas, saat gencarnya upaya pemerintah membuat program satu data berbasis elektronik. Membereskan data stunting saja luput. Soal validasi data-data ini, murnikah masalah SDM yang tidak kompeten atau tekhologi kita masih tertinggal. mungkin perlukah juga kita mengimpor SDM untuk membereskan ini. haha.. haha...
Belum tuntas soal data. Dalam diskusi-diskusi ringan itu, ternyata menangani stunting juga terbentur dilema sosial dan edukasi. Banyak masyarakat lebih memilih "menyembunyikan" balitanya akibat vonis stunting tenaga kesehatan. Ada edukasi yang kurang tepat, soal stunting. Rentetannya para ibu menjadi acuh dan malas membawa anaknya ke posyandu. Daripada mendengar sentilan petugas kesehatan soal kelalaian para ibu dalam memenuhi gizi anak.
Tak jarang tenaga kesehatan yang datang, hanya mendapati daun pintu tertutup. Si Ibu jadi enggan diperiksa balitanya. Persepsi si Ibu, stunting itu penyakit yang harus ditutup-tutupi. Kira-kira seperti covid-19, terjangkiti seolah menjadi hina bagi si ibu dan buah hatinya.
Dilema lain, stunting jadi semacam "aib keluarga" ditengah pedisnya gunjingan para tetangga. Istri saya punya pengalaman serupa. "Kok anakmu kecil sekali, kurang dikasih makan, tidak minum susu formula bla... bla...". kira-kira kalimat seperti itu acap kali terlontar tanpa mempertimbangkan perasaan si ibu.