Lihat ke Halaman Asli

Gejala

Diperbarui: 25 Juni 2015   03:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

I

Malam kayak pagi, pagi kayak siang, siang kayak sore, sore kayak malam. Lalu, aku seperti apa?Terus, aku lurus. Bersahaja pada lekuk daun pucuk perkara. Berteriak, aku akan baik dari buruk kemarin. Diam, aku buntu. Memetik gundah padahal illahi marah karena nista mengubur suka. Nangis, aku mundur. Ilalang-ilalang usang tertawa menetas mata dengan darah lalu luka. Senyum, aku selesai. Teriak lepas diujung gundukan. Terus nisan menancap kaku. Ini akhir gejala.

II

Kini hanya bisa meringkas jalanan lalu, mengumpat, balik berkelana, menggelinding guli-guli rasa. Lalu menelaah ribuan kata terucap, mengarti jutaan arti dari arti kata, kembali berhenti ketika mereka berjalan kencang. Ketika mereka berhenti, balik jalan tapi nyendat karena lebam ditonjok malam. Telat, tetap lambat. Sampai kapan menyambut pagi? Biar esok, aku berhenti. Sebab, kata malam, "Aku tilam". Kata pagi, "Aku rugi". Kata siang, "Aku belang". Kata sore, "Aku kere". Mulai tak mengerti apa kata mereka yang lain. Alergi suaraku?

III

Lekuk cangkir ditabur pekat diseduh panas lalu hitam dalam volume bening. Kelam malam baju hitam. Hirup lalu sedot. Membaur pemulung waktu dengan pengusaha kata. Rata biar ditata elok, karena malam indah dengan kelam. Ketika bertemu bintang, Aku tetap menggenggam sang pekat. Karena ia menawan dengan manisnya, memupuk ide biar tambah subur.

Medan, 26 Januari 2011

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline