Lihat ke Halaman Asli

Faisal Basri

TERVERIFIKASI

Mengajar, menulis, dan sesekali meneliti.

Refleksi Akhir Tahun: Mengapa Perekonomian Indonesia Kian Loyo?

Diperbarui: 17 Oktober 2016   07:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada 12 Desember 2015, di blog ini saya menayangkan tulisan berjudul "Jatuh-Bangun Perekonomian Indonesia". Mengapa perekonomian Indonesia kerap terantuk dan mengalami stagnasi sehingga semakin tertinggal dengan negara-negara tetangga? Belum mencapai tingkat pendapatan per kapita yang cukup tinggi tetapi sudah melambat dan cenderung melandai.

Banyak faktor yang memengaruhinya. Di antara yang terpenting dan bersifat mendasar, sangat boleh jadi salah satunya adalah kecenderungan perekonomian Indonesia semakin tertutup. Salah satu ukuran yang lazim digunakan untuk mengukur tingkat keterbukaan (degree of openness) suatu perekonomian ialah nisbah ekspor (X) dan impor (M) terhadap produk domestik bruto (PDB) atau gross domestic product (GDP).

Peraga di bawah menunjukkan derajat keterbukaan (X + M) perekonomian Indonesia turun dari 53,0 persen tahun 1981 menjadi 48,2 persen tahun 2014. Penyebabnya ialah komponen ekspor (X) yang turun dari 29,0 persen menjadi 23,7 persen, sedangkan komponen impor (M) naik tipis dari 24,0 persen menjadi 24,5 persen.

Kasus Indonesia bisa dikatakan ganjil karena hampir seluruh negara semakin terbuka dan kian terlibat dalam perdagangan internasional, tak peduli negara kapitalis ataupun negara sosialis, tak peduli negara yang berpenduduk banyak (di atas 100 juta jiwa), sedang (50-99 juta jiwa) ataupun sedikit (di bawah 50 juta jiwa). Singapura satu-satunya pengecualian namun sangat bisa dipahami karena tingkat keterbukaannya sangat ekstrem tinggi sebagaimana tercermin dari nisbah ekspor dan impor terhadap PDB yang mencapai 351 persen.

Untuk mengetahui pola jangka panjang yang lebih stabil, mari kita tengok peraga selanjutnya yang menggunakan rerata lima tahunan. Hasilnya menunjukkan pola yang konsisten bahwa perekonomian Indonesia semakin tertutup sejak memasuki dasawarsa 2000-an. Kondisi dewasa ini sama dengan 30 tahun silam.

Sekalipun nilai ekspor Indonesia telah masuk kelompok top-30, pertumbuhannya relatif rendah dibandingkan negara di Asia (berwarna merah) kecuali Jepang. Pangsa ekspor Indonesia dalam keseluruhan ekspor dunia terkecil di antara seluruh negara Asia yang masuk top-30, yakni hanya 0,9 persen pada tahun 2014, turun dari 1,0 persen pada tahun 2009.

Kunci untuk masuk ke jajaran elit negara pengekspor dunia adalah keberhasilan industrialisasi yang membuat produk manufaktur mendominasi ekspor. Peraga di bawah menunjukkan Indonesia dan Brazil yang ekspornya masih didominasi komoditas primer, sedangkan Saudi Arabia merupakan kasus khusus karena dominasi ekspor minyak mentah.

Ketergantungan yang masih tinggi terhadap ekspor komoditas primer (bahan mentah) yang harganya amat berfluktuasi menyebabkan kinerja ekspor Indonesia dan Brazil tidak secemerlang 10 negara Asia yang mendominasi jajaran top-30 dunia. Sekali lagi Jepang merupakan pengecualian karena telah memasuki tahapan aging population, sehingga industrinya semakin banyak yang direlokasi ke luar Jepang.

Nilai ekspor Indonesia selama kurun waktu 2009-2014 hanya tumbuh 47 persen, jauh lebih rendah ketimbang China (95 persen) dan India (108 persen), juga lebih rendah dibandingkan tetangga dekat seperti Thailand (50%) dan Malaysia (49 persen).

Memperdagangkan jenis barang apa pun niscaya berpotensi meraih keuntungan (gains from trade). Kalau hendak meraih keuntungan dari perdagangan (gains from trade). Namun, jika hendak menikmati keuntungan ekstra (additional gains from trade), tidak ada pilihan lain kecuali membuat produk manufaktur lebih mengedepan dalam ekspor kita, karena sekitar 62 persen barang-barang yang diperdagangkan adalah produk manufaktur.

Lebih jauh, perdagangan atau pertukaran di antara produk manufaktur (intra-industry trade) itulah yang merupakan sumber dari additional gains from trade sesuai dengan kaidah increasing return to scale.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline