Struktur perekonomian mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Pengalaman banyak negara menunjukkan pada tahapan awal pembangunan, sektor pertanian dan/atau sektor primer mendominasi perekonomian. Jika transformasi berlangsung lancar, pertumbuhan sektor pertanian mampu meningkatkan kesejahteraan rakyatnya lewat peningkatan produktivitas.
Sejalan dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia dan kemajuan teknologi, peranan sektor pertanian/sektor primer mengalami penurunan. Sektor sekunder, khususnya industri manufaktur, lambat laun menguat. Di negara yang penduduknya relatif banyak, produksi manufaktur berkembang dengan topangan pasar domestik karena terjadi peningkatan daya beli masyarakat yang dihasilkan dari kemajuan sektor pertanian/ekstraktif. Di negara-negara Asia yang dijuluki Macan Asia yang penduduknya relatif sedikit, kemajuan industri manufaktur ditopang oleh industrialisasi berorientasi ekspor.
Transformasi tahap pertama itu diiringi oleh pergeseran struktur lapangan kerja. Produktivitas sektor pertanian terus mengalami peningkatan karena penurunan jumlah atau persentase pekerja di sektor pertanian. Sebagian mereka berpindah ke sektor industri manufaktur yang menawarkan tingkat upah lebih tinggi.
Peranan industri manufaktur dalam perekonomian meningkat relatif pesat ketika suatu negara menempuh fase industrializing hingga mencapai negara industri (industralized country). Sumbangan sektor industri manufaktur dalam produk domestik bruto (PDB) mencapai puncaknya sekitar 35 persen dan setelah itu turun perlahan. Beberapa negara mencapai di atas 40 persen.
Pengalaman Indonesia agak melenceng dari pola normal. Penurunan sumbangan sektor pertanian dalam PDB lebih cepat ketimbang penurunan pekerja di sektor pertanian. Pada tahun 1970 sektor pertanian dalam perekonomian masih sangat dominan, yakni 47 persen. Sepuluh tahun kemudian terpangkas menjadi 26 persen. Kini peranan sektor pertanian dalam PDB tinggal sekitar 13 persen. Sementara itu, sektor pertanian masih saja sebagai penyumbang lapangan pekerjaan terbesar hingga sekarang, yakni sekitar 32 persen dari keseluruhan orang yang bekerja.
Industri manufaktur sempat maju cukup pesat namun kehilangan momentum untuk menjadi motor utama pembangunan. Peranan tertinggi sektor ini dalam perekonomian Indonesia hanya mencapai 29 persen tahun 2001, setelah itu menunjukkan kecenderungan turun secara konsisten hingga sekarang.
Tahapan transformasi berikutnya adalah peningkatan sumbangan sektor jasa. Sektor ini pada umumnya mendominasi perekonomian tatkala suatu negara telah menyandang status negara maju.
Namun, Indonesia yang masih berstatus negara berkembang dan berada di kelompok negara berpedapatan menengah-bawah (lower-middle income group) dengan PDB per kapita 3.347 dollar AS pada tahun 2015, sektor jasanya sudah dominan. Bahkan, dominasi sektor jasa telah terjadi sejak 2010 ketika PDB per kapita masih 3.125 dollar AS. Bandingkan dengan sektor jasa (non-tradable) China yang baru melebihi sektor penghasil barang (tradable) pada tahun 2015 ketika mencapai PDB per kapita 8.028 dollar AS, sekitar 2,4 kali lebih tinggi dari Indonesia. Perbedaan peran sektor non-tradable dan tradable di China tahun 2015 pun masih sangat tipis, yaitu masing-masing 50,2 persen dan 49,8 persen, sedangkan perbedaan di Indonesia cukup tajam dan cenderung kian menganga, 59 persen versus 41 persen pada tahun 2015.
Setelah krisis ekonomi 1998 sektor non-tradable(jasa) tumbuh jauh lebih tinggi ketimbang sektor tradable (pertanian, pertambangan dan penggalian, dan industri manufaktur), bahkan pernah mencapai lebih dari tiga kali lipat.
Pola transformasi perekonomian yang dialami Indonesia berpotensi menimbulkan berbagai masalah. Sektor jasa yang menikmati pertumbuhan pesat adalah sektor jasa modern nonpadat karya serta membutuhkan tenaga kerja berpendidikan relatif tinggi, sedangkan 60 persen pekerja kita hanya tamatan sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) ke bawah, termasuk yang tidak tamat sekolah dasar dan tidak pernah sekolah sama sekali. Dalam kondisi demikian, sektor jasa yang bisa dimasuki pekerja kita sebatas sektor jasa informal seperti jasa perdagangan, jasa konstruksi, dan jasa transportasi. Tidak mengherankan jika pekerja informal di Indonesia masih dominan, yakni 57 persen dari keseluruhan pekerja (per Agustus 2016). Para pekerja informal ini menyemut di perkotaan karena tidak mampu diserap oleh sektor industri manufaktur yang peranannya terus menurun ditambah dengan kecenderungan otomatisasi dan penggunaan robot.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H