Lihat ke Halaman Asli

Faisal Basri

TERVERIFIKASI

Mengajar, menulis, dan sesekali meneliti.

Tren Ketimpangan Memburuk dan Pesta Pora Kapitalis Kroni

Diperbarui: 23 Agustus 2016   07:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Gambar: ANTARA

Pada 19 Agustus 2016, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data terbaru tentang ketimpangan. Indeks ketimpangan yang diukur dengan gini ratio pada Maret 2016 turun menjadi 0,397. Penurunan gini ratio menjadi di bawah 0,4 membuat tingkat ketimpangan di Indonesia kembali dalam kategori rendah (<0,4). Kategori sedang 0,4-0.5 dan ketegori ketimpangan tinggi atau parah >0,5. Rentang gini ratio adalah nol (merata sempurna) hingga 1 (timpang sempurna).

Gini ratio tertinggi sepanjang sejarah terjadi pada September 2014. Setelah itu terus mengalami penurunan hingga Maret 2016. Berarti selama pemerintahan Presiden Joko Widodo mengalami perbaikan hingga kembali ke kategori rendah.

Sumber: Badan Pusat Statistik

Di halaman muka Kompas hari ini (20/8) muncul berita dengan judul Rasio Gini Belum Memuaskan Gini Belum Memuaskan. Mengapa sejumlah kalangan, termasuk Wakil Presiden Jusuf Kalla, menilai penurunan belum cukup memuaskan?

Pertama, menurut BPS, penyumbang perbaikan terutama adalah kenaikan upah buruh tani harian dan buruh bangunan harian, kenaikan jumlah pekerja bebas di sektor pertanian dan nonpertanian, serta kenaikan pengeluaran pemerintah, khususnya infrastruktur padat karya, bantuan sosial, dan perbaikan pendapatan pegawai negeri sipil (PNS) golongan bawah. Dua faktor pertama sangat rentan, sewaktu-waktu mudah turun kembali karena kelompok buruh harian tidak memiliki kepastian pendapatan.

Kedua, meskipun gini ratio di perdesaan relatif jauh lebih rendah dari perkotaan (0,327 versus 0,410), penurunan gini ratio di perdesaan relatif lebih lambat dibandingkan penurunan di perkotaan. Kenyataan ini memperkokoh konstatasi rentannya faktor pertama.

Ketiga, gini ratio di Indonesia dihitung berdasarkan data konsumsi per kapita, sehingga tidak mencerminkan ketimpangan pendapatan dan ketimpangan kekayaan. Ketimpangan berdasarkan pengeluaran atau konsumsi jauh lebih rendah ketimbang ketimpangan pendapatan dan kekayaan karena sekaya-kayanya seseorang tentu memiliki keterbatasan untuk menikmati hidup dari kekayaannya yang melimpah: makan tiga kali sehari, tidak bisa menimati lebih dari satu mobil dan rumah pada waktu yang sama, dan keterbatasan waktu untuk pesiar ke seantero dunia. Berbeda dengan pendapatan dan kekayaan yang bisa ditumpuk sampai tujuh turunan.

Keempat, tren jangka panjang dengan menggunakan data tahunan (rerata Maret dan September sejak 2011) menunjukkan peningkatan ketimpangan yang cukup tajam.

Sumber: Badan Pusat Statistik

Data Bank Dunia tentang konsentrasi kekayaan menunjukkan kondisi ketimpangan yang amat parah. Indonesia menduduki peringkat ketiga terparah setelah Rusia dan Thailand. Satu persen rumah tangga Indonesia menguasai 50,3 persen kekayaan nasional. Semakin parah jika melihat penguasaan 10 persen terkaya yang menguasai 77 persen kekayaan nasional. Jadi 90 persen penduduk sisanya hanya menikmati tidak sampai seperempat kekayaan nasional.

Sumber: World Bank

Lebih ironis lagi, sekitar dua pertiga kekayaan yang dikuasai orang kaya Indonesia diperoleh karena kedekatannya dengan penguasa. Crony-capitalism index Indonesia menduduki peringkat ketujuh.

Pantas saja para saudagar kian banyak yang menyemut ke dalam kekuasaan dan menguasai pucuk pimpinan partai politik. Karena dengan begitu kenikmatan berbisnisnya terlindungi. Sektor-sektor kroni pada umumnya bersandar pada fasilitas dan konsesi dari penguasa. Banyak dari mereka tidak siap bersaing secara sehat.

Sumber Data: The Economist

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline