Mengelola keuangan negara tidak bisa dengan cara berakrobat. Semua variabel ada pakemnya. Asumsi di balik variabel tidak turun dari langit.
Perkembangan lingkungan strategis harus dicermati dengan seksama. Energi yang kita miliki harus diukur dengan baik agar di tengah jalan tidak kehabisan bensin. Hindari juga perubahan rute berulang kali.
Komplikasi permasalahan berawal dari target penerimaan pajak tahun 2015 yang "selangit" dengan kenaikan 30 persen dibandingkan dengan realisasi tahun 2014.
Padahal, pertumbuhan ekonomi Indonesia sedang mengalami tekanan. Bukan baru terjadi pada tahun 2015, melainkan sudah berlangsung lima tahun sejak 2015.
Pemerintah mematok target pertumbuhan ekonomi terlalu tinggi, yatu 5,7 persen untuk tahun 2015. Realisasinya jauh meleset, hanya 4,8 persen.
APBN-P 2015 sepenuhnya disusun oleh pemerintahan Jokowi-JK. Target pertumbuhan ekonomi memang diturunkan dari 5,8 persen pada APBN 2015. Namun, anehnya target pajak dinaikkan dari Rp 1.380 triliun (APBN 2015) menjadi Rp 1.489 triliun (APBN-P 2015) atau meningkat sebesar 7,9 persen. Target APBN 2015 saja sudah naik 20,3 persen dibandingkan dengan realisasi APBN 2014.
Berbeda dengan pernyataan-pernyataan Menteri Keuangan selama tahun 2015 yang sejak jauh hari hampir selalu bernada optimistik bisa mencapai target penerimaan pajak, belakangan ini sejak dini sudah pesimistik target pajak pada APBN 2016 tak bakal tercapai. Lihat Target Meleset Rp 290 Triliun.
Berbagai alasan dikemukakan, antara lain target penerimaan dari sektor migas dan komoditas bakal terpangkas Rp 90 triliun karena kemerosotan harga. Bukankah harga semua jenis komoditas sudah mengalami penurunan sejak tahun 2011 dan diperkirakan bakal berlanjut pada tahun ini.
Yang mencengangkan adalah pengakuan Menteri Keuangan bahwa pertumbuhan alami penerimaan pajak adalah pertumbuhan ekonomi ditambah inflasi. Berarti, pertumbuhan alami berdasarkan asumsi APBN-P 2015 adalah 10,7 persen (5,7 persen pertumbuhan ekonomi ditambah 5 persen inflasi). Ditambah usaha ekstra 3 persen, pertumbuhan penerimaan pajak paling tinggi 13,8 persen. Jadi, dari mana datangnya angka 30 persen? Bayangkan, kenaikan lebih dua kali lipat dari kenaikan alamiah plus usaha ekstra. Berarti harus ada usaha ektra luar biasa agar kenaikan lebih dua kali lipat itu tercapai.