Lihat ke Halaman Asli

Faisal Basri

TERVERIFIKASI

Mengajar, menulis, dan sesekali meneliti.

Statistik sebagai Pijakan Kebijakan Ekonomi

Diperbarui: 4 Februari 2016   10:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: Anggaran Kementan dari tahun ke tahun meningkat. (dok Kementerian Pertanian)

Peraih hadiah Nobel Ekonomi, Ronald Coase, mengingatkan: “If you torture the data long enough, it will confess.”

Betapa penting statistik dalam perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan. Kalau kualitas data yang digunakan sebagai pijakan perumusan kebijakan dan pengambilan kepurusan buruk, maka keputusan atau pilihan kebijakan pun akan buruk atau tumpul atau lebih parah lagi bisa menyesatkan: garbage in, garbage out.

Salah satu pengalaman berharga adalah kasus daging sapi. Bertahun-tahun Kementerian Pertanian hampir selalu melaporkan kenaikan populasi sapi, sehingga jumlah kuota impor lebih kecil dari kebelihan permintaan (excess demand). Tak ayal, harga terus merangkak naik dan beberapa kali terjadi kelangkaan.

Akhirnya terbukti swasembada daging sapi yang dicanangkan pemerintah tidak kunjung terwujud. Malahan sebaliknya, populasi sapi dan kerbau turun sebanyak 2,5 juta ekor selama kurun waktu 1 Juni 2011 sampai dengan 1 Mei 2013, dari 16,7 juta ekor hasil Pendataan Sapi Potong, Sapi Perah, dan Kerbau (PSPK) menjadi 14,2 juta ekor berdasarkan Sensus Pertanian 2013. Karena perkiraan pasokan dalam negeri kebesaran (overestimate), maka penetapan jumlah kouta daging sapi lebih kecil dari yang seharusnya bisa meredam kenaikan harga.

Akibatnya, terjadi kelebihan permintaan (excess demand) yang relatif besar untuk kurun waktu cukup lama. Jika kita hitung nilai surplus konsumen (consumer surplus) yang menciut berdasarkan selisih antara harga domestik dan harga internasional dan asumsi konsumsi daging sapi per kapita 1,9 kilogram, nilai kerugian konsumen sekitar Rp 21,9 triliun. Selengkapnya lihat Statistik dan Kebijakan Ekonomi.

Sudah saatnya kita memiliki sistem manajemen data terpadu yang dikelola oleh Badan Pusat Statistik. Undang-undang mengamanatkan BPS sebagai lembaga independen yang tidak boleh diintervensi oleh pihak mana pun.

Dengan begitu rasanya kisruh jagung, daging sapi, beras, dan sebagainya bisa terhindarkan di masa depan. Semua kementerian menggunakan data yang sama, sehingga harmonisasi kebijakan lebih terjamin.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline