Lihat ke Halaman Asli

Faisal Basri

TERVERIFIKASI

Mengajar, menulis, dan sesekali meneliti.

Tak Bisa Melangkah Mundur

Diperbarui: 17 Juni 2015   08:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ins

Berbagai sistem politik dan sistem ekonomi pernah kita coba. Namun, hasilnya belum kunjung memuaskan. Kecewa lagi, kecewa lagi. Lalu, kita ingin kembali ke masa lalu. Muncul stiker dengan wajah Soeharto: Enak jamanku toh. Di industri migas juga begitu. Ada yang mengusulkan kembali ke masa sebelum Undang-undang No.22 Tahun 2001 tentang Migas. Apalagi Mahkamah Konstitusi telah membatalkan beberapa pasal dalam undang-undang itu, yang mengakibatkan BP Migas dibubarkan. Penggantinya adalah SKK Migas. Cuma ganti nama. Mikhail Gorbachev mengatakan: “If what you have done yesterday still looks big to you, you have not done much today.” Jangan-jangan apa yang dikatakan Gorbachev masih relevan bagi kita. Sekedar mengingatkan.

Di masa Orde Baru, persaingan politik sangat rendah. Partai hanya tiga (Golkar, Partai Demokrasi Indonesia, dan Partai Persatuan Pembangunan). Setiap pemilihan umum, belum selesai perhitungan suara sekalipun hasilnya sudh bisa ditebak: Golkar dapat sekitar 70 persen suara. Kala itu di DPR ada Fraksi TNI/Polri. Tak pelak lagi, di DPR Soeharto berkuasa penuh dengan kursi mencapai sekitar 85 persen. Konsentrasi kekuasaan sangat tinggi atau dispersi kekuatan politik rendah. Kapasitas institusional juga rendah sehingga menimbulkan potensi besar persoalan governance. Tak heran jika korupsi mendarah daging di elit kekuasaan. Korupsinya terpusat, terorganisir, dan sistemik. Pemerintahan berjalan efektif. Apa yang telah digariskan penguasa tertinggi terlaksana dengan mulus. Tetapi, efektif belum tentu benar. Apalagi tidak ada mekanisme checks and balances yang memadai. Sekali salah langkah bisa kebablasan, yang muaranya bisa menjelma menjadi krisis sebagaimana terjadi tahun 1998. Di era reformasi pasca tumbangnya Soeharto, pendulum bergeser dari satu ekstrem ke ekstrem lain, lalu berhenti. Persaingan politik tiba-tiba menjadi tinggi. Tidak pernah lagi satu partai menang mutlak dalam pemilihan umum. Pada pemilihan umum lalu misalnya, PDI Perjuangan sebagai pemenang pemilu, hanya meraih suara  19 persen. Jika, katakanlah, terjadi koalisi besar (grand coalition) yang mencakup tiga besar partai pemenang pemilu (PDI Perjuangan, Golkar, dan Gerindra), keseluruhan kursi mereka di DPR hanya 48,7 persen. Jadi, koalisi besar belum menghasilkan mayoritas mutlak di DPR. Betapa tingginya dispersi kekuatan politik dewasa ini. Sementara itu, kapasitas institusional tidak mengalami perbaikan berarti. yang terjadi adalah mengubah undang-undang dan menambah undang-undang, tetapi dengan kualitas yang buruk, sehingga kerap tidak bertahan lama karena dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Korupsi kian tersebar, tidak lagi terbatas di pusat kekuasaan. Jadi, persoalan tata kelola (governance) tetap menggelayuti kehidupan berbangsa dan bernegara, nuansanya saja yang berbeda. Pemerintahan menjadi kurang efektif atau semakin tidak efektif. Peraga di bawah menunjukkan efektivitas pemerintah memburuk. Sebelum reformasi dan setelah reformasi, indeks untuk Indonesia tetap saja negatif.

gi

Jika kita kembali ke matrik, pilihannya hanya dua: ke kotak kiri-bawah (kuadran III) atau ke kotak kanan-bawah (kuandran IV). Agaknya tidak realistis kalau bergerak ke kuadran III. Mau kembali ke masa Orde Baru? Karena itu, pilihan yang paling realistis adalah bergerak ke kuadran IV. Tentu saja tidak bisa serta merta, melainkan bakal berlangsung bertahap. Indonesia in making, harus bersabar, ketimbang cari jalan pintas tetapi menuju kemunduran.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline