Tidak ada negara besar yang berjaya tanpa menapaki tahapan industrialisasi hingga matang. Setelah mencapai titik optimal, barulah sektor jasa lambat laun semakin kuat. Berdasarkan pengalaman negara-negara yang telah mencapai status negara industri maju, titik optimal terjadi ketika peranan sektor industri manufaktur dalam produk domestik bruto (PDB) sekitar 35 persen. Setelah mencapai titik optimalnya, lambat laun peranan industri manufaktur dalam PDB turun. Sektor jasa terus berkembang dan kian dominan dalam PDB. Indonesia baru menapaki porsi manufaktur dalam PDB tertinggi sebesar 29 persen pada tahun 2001. Setelah itu selama empat tahun berturut-turut turun. Naik sedikit pada tahun 2006, tetapi setahun kemudian turun lagi. Penurunan juga terjadi pada tahun 2007 menjadi 27 persen, lalu setahun kemudian naik menjadi 27,8 persen. Setelah itu terus menerus turun hingga mencapai titik terendah sebesar 23,7 persen tahun 2013. Adalah kemerosotan peran industri manufaktur bersama-sam dengan kemerosotan sector penghasil barang lainnya (pertanian dan pertambangan) yang membuat kapasitas ekspor relative menurun, sehingga mengikis surplus transaksi perdagangan barang, yang selanjutnya menekan akun lancar (current account) hingga mengalami defisit sejak triwulan IV-2011. Mau tak mau, yang paling bisa diandalkan untuk memperbaiki posisi akun lancar secara berkelanjutan adalah penguatan industrialisasi. Momentum untuk memperkokoh industrialisasi adalah kehadiran Undang-Undang Perindustrian yang telah disahkan awal tahun ini. Sayangnya, undang-undang ini lebih banyak memfasilitasi ketimbang pengaturan. Sebagai contoh, dalam hal pembiayaan, pemerintah memfasilitasi tersedianya skema pembiayaan yang kompetitif bagi industri. Tidk jelas apa yang dimaksud dengan "skema pembiayaan yang kompetitif". Yag pasti pemerintah dapat memberi pinjaman, subsidi bunga, hibah, dan penyertaan modal kepada usaha industri. Untuk menyelamatkan industri dari ancaman kerugian akibat pengaruh konjungtur ekonomi global, pemerintah dapat memberikan stimulus fiscal dan kredit program. Jadi bukan hanya sebatas mengatasi persoalan informasi asimetrik dan untuk target tertentu seperti UMKM. Lebih rinci, lihat Udi H. Pungut, "Mencermati UU Perindustrian," Kompas, 19 Februari 2014, hal. 7. Bagaimana mungkin pemerintah mengurusi seperti itu, padahal yang bersifat mendasar saja tidak disentuh. Sekedar dua contoh berikut ini terkait dengan kebijakan yang tidak memerlukan dana besar dan program yang rumit yang bias menimbulkan ekses negative seperti di masa lalu. Bantuan pemerintah sehebat apa pun dalam bentuk pendanaan tidak bakal ampuh mendorong industrialisasi kalau struktur tariff (bea masuk) justru masih bersifat anti-industrialisasi. Bagaimana mungkin pabrik telepon genggam bakal hadir di sini jika bea masuk untuk telepon genggam nol persen, sedangkan bea masuk untuk komponennya berkisar antara 5 persen sampai 15 persen. kalau strukturnya seperti itu, jelas lebih untung mengimpor telepon genggam ketimbang memproduksinya di dalam negeri. Kedua, impor bahan baku atau komponen dikenakan PPh pasal 22 sebesar 2,5 persen. Pertengahan tahun lalu pemerintah justru menaikkan PPh pasal 22 menjadi 7,5 persen. Jadi, kalau pabrikan mengimpor komponen senilai 1 miliar dollar AS, sekarang mereka harus membayar di muka PPh pasal 22 sebesar 75 juta dollar AS. Belum berproduksi sama sekali sudah dikenakan pungutan macam-macam. Rinciannya: harga komponen (fob) = US$1 miliar. Ditambah bea masuk (katakan 10 persen), menjadi US$1,1 miliar. Bayar lagi PPN impor 10 persen, menjadi US$ US1,21 miliar. Lalu bayar lagi PPh pasal 22 sebesar 7,5 persen, sehingga dana yang dibutuhkan untuk mengimpor komponen keseluruhannya senilai US$1,3 miliar. Lebih baiklah membangun pabrik di negara Asean lainnya lalu mengapalkannya ke Indonesia. Dijamin lebih murah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H