Lihat ke Halaman Asli

Faisal Basri

TERVERIFIKASI

Mengajar, menulis, dan sesekali meneliti.

Kembali ke Jati Diri

Diperbarui: 17 Juni 2015   18:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

"Dari Barat sampai ke Timur

Berjajar pulau-pulau

Sambung-menyambung menjadi satu

Itulah Indonesia ….."

Wage Rudolf Supratman

Lautlah yang mempersatukan Indonesia, merajut gugusan 17.508 pulau membentuk untaian zamrud khatulistiwa. Dengan garis pantai 54.716 kilometer, terpanjang kedua di dunia menurut mapofworld.com, Tuhan mengaruniai bangsa Indonesia jalan bebas hambatan tak berbayar, tidak perlu diaspal atau dibeton, tidak perlu tiang pancang, dan tidak membutuhkan pembebasan tanah.

Kesadaran itu sudah lama kokoh di bumi Pertiwi. Kejayaan Sriwijaya pada abad IX dan Majapahit pada abad XIV karena menjadikan laut sebagai tulang punggung, bukan memunggungi laut. Bangsa kita menggunakan istilah tanah air untuk tumpah darahnya, bukan padanan dari motherland atau homeland.

Ketika membuka National Maritime Convention I (NMC) 1963, Presiden Soekarno dengan lantang mengatakan, “Untuk membangun Indonesia menjadi negara besar, negara kuat, negara makmur, negara damai yang merupakan national building bagi negara Indonesia, maka negara dapat menjadi kuat jika dapat menguasai lautan. Untuk menguasai lautan kita harus menguasai armada yang seimbang.”

Sejak Orde Baru bias darat sangat kental. Distorsi di hampir segala aspek kehidupan. Negara kedodoran melindungi tumpah darah Indonesia dan memajukan rakyatnya.

Kekayaan laut tak tersentuh, bahkan pihak asing leluasa menggasaknya. Kekayaan alam mengalir ke luar secara ilegal. Industri dalam negeri kekurangan bahan baku (feed stock).

Orientasi darat juga membuat cara pandang kita cenderung inward looking. Padahal, sejarah membuktikan bangsa-bangsa di Nusantara sangat outward looking, berdagang menjelajah Samudra, lintas benua. Akibatnya, keterbukaan dan globalisasi lebih dipandang sebagai ancaman, bukan peluang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline