Lihat ke Halaman Asli

Faisal Ahmadani

Belajar dan Mengajar

Efektifitas Literasi Publik Berbasis Data dalam Mengatasi Dampak Propaganda (Hitam) Komputasional

Diperbarui: 28 Juni 2020   07:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Teknologi informasi  dalam beberapa dekade terakhir telah berkembang demikian pesatnya, berimplikasi dalam semua aspek kehidupan manusia dan telah "menyatukan" dunia dalam sebuah ruang tanpa sekat.     Implikasi yang dari perkembangan tersebut dapat berupa implikasi positif, atau sebaliknya : negatif.  

Teknologi informasi tidak lagi digunakan sebatas mengolah dan menganalisis informasi tetapi juga merambah ke berbagai penggunaan lain terutama sebagai media komunikasi sosial yang melahirkan berbagai platform media sosial yang digunakan oleh hampir seluruh pengguna internet di dunia untuk berhubungan satu sama lainnya.  mengatasi  batas-batas fisik dan yurisdiksi (borderless). Teknologi informasi pun berkembang menjadi teknologi informasi dan komunikasi,  yang terus   berkembang dengan cepat dan semakin luas dalam penggunaannya.

Salah satu  penggunaan teknologi informasi dan komunikasi  yang populer saat ini adalah sebagai alat propaganda, alat untuk membentuk opini publik, alat rekayasa sosial (social engineering) yang kemudian dikenal juga sebagai propaganda komputasional. Penggunaan media sosial sebagai media propganda  menjadikan propaganda menjadi lebih mudah untuk dilakukan. lebih cepat  dan berdampak lebih luas.  Masyarakat pengguna media sosial dalam perspektif propaganda merupakan sasaran propaganda (audiens), semakin banyak   pengguna media sosial semakin banyak pula audiens  yang menerima pesan-pesan propaganda, semakin luas pula dampak propaganda  terhadap opini publik.  apakah itu propaganda hitam (black propaganda), propaganda kelabu (grey propaganda) maupun propaganda putih (white propaganda).   

Dampak propaganda komputasional terhadap opini publik tidak serta merta akan menjadikan publik sebagai satu kesatuan opini.  Publik memiliki kecenderungan untuk memilih pesan yang menurut mereka adalah pesan yang sesuai dengan pilihan mereka sendiri. Opini publik pun terbelah. mendukung propagandis dan ikut menguatkan pesan-pesan propaganda yang dikirim oleh propagandis atau menolak menolak atau membantah pesan propaganda atau melakukan kontra propaganda (counter propaganda)  komputasional.

Publik pun terbelah.  Satu kelompok menguatkan pesan-pesan propaganda, kelompok lain memilih untuk melawan pesan-pesan tersebut.  Publik terekayasa dalam dua kelompok opini yang saling berlawanan satu sama lain.    Terbelahnya opini publik merupakan tujuan dari propagandaitu sendiri,  apakah propaganda konvensional maupun propaganda komputasional.  Ruang siber, ruang dimana media sosial digunakan untuk berinteraksi, menjadi ruang "perang opini" dari dua kelompok berlawanan tersebut.   

Dalam konteks Indonesia,  polarisasi akibat propaganda komputasional telah "membelah" bangsa ini menjadi dua kubu yang saling berlawanan, yang mencapai puncaknya saat Pilpres 2019, namun berakhirnya Pilpres tidak serta merta menghentikan  "perang" tersebut dan masih terus berlangsung hingga saat ini. Ruang siber Indonesia menjadi arena "perang saudara", perang opini yang sesungguhnya memecah persatuan dan kesatuan bangsa. 

Persatuan dan kesatuan bangsa harus dijaga, di ruang siber sekalipun.  Ruang metafisik yang membentuk opini publik dan mempengaruhi sikap dan perilaku   publik,  bahkan hingga di ruang fisik dalam kehidupan sehari-hari.   Sebagaimana sebuah perang, agar perang tidak semakin meluas, berdampak kehancuran yang lebih masif, dibutuhkan kelompok netral yang "menengahi" perang tersebut. 

kelompok netral ini memang belum tentu tidak berpihak pada salah satu kelompok yang bertikai, namun paling tidak dengan fakta-fakta yang dapat diterima oleh kedua belah pihak yang bertikai, kelompok netral dapat diterima oleh kedua belah pihak dan menurunkan tensi peperangan. 

Publik butuh literasi digital, literasi berbasis data (bukan asumsi) agar fakta-fakta dapat diterima sebagai sebuah kebenaran dari sudut pandang semua orang.  Di Indonesia kita mengenal Drone Emprit, yang sejak Pilpres 2019 mulai diamati banyak orang (termasuk media mainstream) yang mempublikasikan hasil analisis data tren media sosial di Indonesia.   

dalam kasus terakhir sebagaimana diberitakan kompas.com tanggal 16 Juni 2020, dengan artikel yang berjudul "Drone Emprit Ungkap 3 Akun Penyebar Meme Fitnah Bintang Emon", dari hasil pencarian di raw data Drone Emprit, pada tanggal 14 Juni diketahui, search dengan keyword "sabu" dan "narkoba" menghasilkan tiga akun yang membuat unggahan sama persis, pada menit yang sama pula. 

Ketiga akun itu yakni @LintangHanita (2 followers), @Tiara616xxx (9 followers), dan @LiarAngsa (0 followers). Sayangnya, saat analisis Fahmi dibuat, ketiga akun yang pertama kali menyebarkan isu Bintang Emon menggunakan sabu sudah suspended semua, sehingga tidak bisa ditelusuri afiliasi dan historinya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline