Lihat ke Halaman Asli

Faisal Ariij

Mahasiswa, Universitas Indraprasta PGRI Jakarta Timur

Film-Film Indonesia yang Mengandung Pornografi di Tahun 1980-1990

Diperbarui: 30 Mei 2022   15:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Film. Sumber ilustrasi: PEXELS/Martin Lopez

Pornografi telah mengundang banyak kontroversi, sejak dari yang anti hingga pada yang ingin membiarkan dan mempertahankannya. Banyak hal yang terkait dengan pornografi, sejak dari soal sejarah, kebudayaan, politik, teknologi hingga ekonomi. Demikian pula pornografi telah melahirkan arus pemikiran yang beragam. Pornografi juga di yakini memiliki sejarah yang panjang seiring dengan perjalanan umat manusia. Tetapi kapan sesungguhnya pornografi mulai mendapat perhatian, tentu harus ada bukti-bukti historis sebagai penguatnya. Tanpa mengabaikan sejarah pajang pornografi, pada abad ke – 20 telah mencatat terjadinya pengembang biakan pornografi yang luar biasa. Pengembangbiakan ini tidak terlepas dari perkembangan kebudayaan manusia, sejak dari demokratisasi, kebebasan berekspresi, di temukannya mesin cetak, alat fotografi, dan teknologi komunikasi. Sehingga pada akhirnya pornografi menjadi bagian komoditi yang menghasilkan miliarah rupiah.

Pornografi dalam undang-undang Nomor 44 tahun 2008, memiliki banyak pengertian seperti gambar,sketsa, ilustrasi,foto,tulisan,suara,bunyi,gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi atau pertunjukan di depan umum, yang memuat eksploitasi seksual yang telah melanggar suatu norma kesusilaan yang terdapat didalam masyarakat.

Film sebagai salah satu media massa memiliki energy yang serius, dan juga dikatakan sebagai industri yang tetap bertahan dan bahkan makin berkembangdengan meluaskan pangsa pasarnya. Indonesia yang dikenal sebagai Hindia Belanda merupakan negara jajahan yang menjadi tujuan berbagai negara colonial pada periode 1500an. Pembangunan jaringan transportasi kereta api dijawa sekitar tahun 1850 sejalan dengan dinamikaindustri dan turisme yang tumbuh dan berkembang di dunia, yang memudahkan di tampilkan nya berbagai seni pertunjukan tradisional seperti ludruk, wayang orang, komedi bahkan tontonan yang bersifat pornografi.

Gambar-gambar seksual yang di film kan tidak di gunakan untuk merangsang alat kelamin seperti yang di gunakan banyak orang saat ini. Kegunaan nya pada saat itu bersifat politis, sarana untuk mengejutkan dan megkritik otoritas agama dan politik. Marcantonio Raimondi, seorang pelukis pria asal Italia, adalah salah satu orang pertama yang di penjara karena menampilkan gambar yang bersifat seksual, setelah ia membuat serial ukiran erotis.

Pertumbuhan pornografi pada tahun 1970/1980 yaitu mulai muncul sebagai konten industri film biru, yang awalnya adalah produk industry rumahan “bawah tanah”. Kemudian berkembang menjadi bisnis terbuka dan agresif bernilai miliar dollar AS per tahun, demikian yang di sebut Time. Pada saat itu, terjadi revolusi seksual yang menantang perspektif tradisional tentang cinta dan seks. Pada saat bersamaan, terjadi peningkatan konten pornografi sekaligus muncul kekhawatiran terhadap dampak moralitas. “Arus seksualitas” dalam pornografi menjadi perdebatan dari gedung capitol hingga ruang keluarga kota kecil.

Mulai tahun 1980an, pada saat itu produksi film-film nasional meningkat signifikan, film-film yang bercita rasa lokal mulai tumbuh meluas. Dapat dilihat dari judul dapat dengan mudah menemukan film dengan judul yang aneh seperti Nafsu gila, Nafsu besar tenaga kurang, Ganasnya nafsu, Goyang sampai tua, Saat-saat kau berbaring di dadaku, Gairah yang nakal dan sebagainya. Padahal pada tahun 1970an, judul film nasional masih baik-baik saja seperti film Fatima, Darah dan doa, Antara bumi dan langit, Untuk sang merah putih, Rampok preangan, dan lain nya. Kejadian tersebut masih terus berlangsung hingga tahun 1990an. Meskipun pada era 1980an hingga 1990an produksi film nasional meningkat secara cepat dan luas serta melampaui jumlah fil-film impor. Tetapo peningkatan tersebut tidak di ikuti dengan peningkatan kualitas. Peningkatakan produksi fim nasional justru terjadi karena film komedi sengaja menampilkan paduan lawak dengan wanita-wanita berpakaian terbukadan menggairahkan, film lagenda yang bebas menampilkan tema sehingga mennggunakan pakaian yang sangat terbuka, film tersebut mencoba menampilkan “pergaualan bebas” terutama pada tahun 1990an. Adanya tindakan dan upaya untuk bekerja sama dengan artis asing dengan berbagai alasan salah satunya untuk di ekspor agar film yang ditampilkan menjadi lebih vulgar, serta menggunakan tema-tema remaja, sehingga dapat mengekploitasi bentuk tubuh wanita muda yang cukup berani

Film tersebut mencapai puncaknya pada tahun 1990an. Bahkan pada tahun 1996, dari 29 judul film yang di produksi, 27 di antaranya merupakan film pornografi. Konotasi seks dan sadis bukan hanya dari tema nya saja, melainkan dari judul dan iklan di gedung bioskop, seperti Bisikan nafsu, Selingkuh, Skandal binal, Lampiasan nafsu, Gairah terlarang, Exstasi dan seks, Gairah malam, Cinta terlarang, Akibat zinah, dan sebagainya. Ironisnya, meskipun beberapa pembenahan telah di lakukan dan undang-undang perfilman juga telah di perbarui, situasi tersebut masih tumbuh dengan pesat dan mendominasi judul film seperti ini dan dengan mudah dapat di temui. Film-film yang berbau porno ini tetap di produksi oleh perfilman Indonesia karena memiliki sejarah perfilman yang panjang, dengan proyeksi yang muncul pertama kali pada masa kolonial, yang mana film-film tersebut sengaja tetap di muat pada saat itu yang kegunaannya bersifat politis, sebagai salah satu sarana untuk mengejutkan dan mengkritik otoritas agama dan politik. Banyak karya satir mengunakan pornografi untuk mengejek para pemimpin politik dan pornografi pada saat itu hanya tersedia untuk kelas elit dan distributornya tidak di tuntut oleh pihak berwenang, kecuali materi tersebut ke semua orang. 

Yang membedakan film-film berbau pornografi dengan film film lainnya pada tahun 1980-1990 yaitu dalam pencapaiannya. Terutama pada decade 1990, adanya upaya untuk bekerja sama dengan artis asing dengan alasan untuk di ekspor sehingga bisa menampilkan film yang lebih vulgar dan menggunakan tema-tema remaja, sehingga dapat mengekploitasi bentuk tubuh wanita muda yang cukup berani. Pemain film berbau pornografi pada tahun 1980-1990 diantaranya Inneke Koesherawati dengan debut film Diskotik DJ (1990) kemudian berlanjut dengan film porno lainnya hingga tahun 1995. Eva Arnas yang terkenal sejak pertengahan 1970-1980an dan telah membintangi lebih dari 50 film serta medapatkan julukan bintang boom seks dalam film panas. Yati Octavia, salah satu pemeran senior Indonesia di era 1980an, ia sempat di juluki ratu film, untuk setiap film-film porno yang ia bintangi ia di hargai lebih dari 5 juta rupiah. Kemudian di ikuti oleh Sally marcellina, Ayu Azzahri, Kiki Fatmala, Diah Permatasari, Sally Marcellina, dan Febby Lawrence. Industri film berbau pornografi ini menjadi laku keras pada tahun 1980-1990an salah satu nya karena penyebaran yang begitu cepat. Pertama, televisi memutar dan mempertontonkan film dengan penampilan yang seronok, kemudian tabloid atau majalah yang mempromosikan dengan memajang gambar-gambar setengah telanjang hingga yang telanjang penuh dengan berbagai cerita seputar seks. Hingga pada saat itu industri film dengan unsur pornografi menjadi laku keras.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline