Cinta merupakan peradaban agung tertua dalam kehidupan manusia. Banyak monumen tercipta yang mengatasnamakan keluhuran cinta. Mulai Taj Mahal di India, Kastil Mystery, Taman Gantung Babilonia, Istana Dobryod, Tembok Cinta, Prasat Hin Phimai hingga Candi Prambanan di Indonesia. Tidak hanya itu, roman roman cinta juga menjadi kisah legenda di pelbagai belahan dunia. Di Eropa kita mengenal kisah romeo juliet, di Timur tengah kita mendapatkan kisah Qais dan Laila, di India kita sering mendengar kisah cinta Rama dan Shinta.
Begitu pula di Madura, di pulau tempat saya dilahirkan ini jejak-jejak legenda cita masih bisa kita dapatkan. Tepatnya di Pulau Mandangin yang berada di wilayah kabupaten Sampang. Untuk sampai ke pulau ini tidak ada jalan lain menuju ke Pulau Mandangin selain menempuh jalur laut. Dari pusat kota Sampang sekitar 2 Km menuju ke arah timur (mengikuti jalan raya menuju ke kota Pemekasan) ada pelabuhan Tanglo'. Pelabuhan inilah satu-satunya tempat keberadaan perahu motor berlayar yang digunakan untuk mengangkut penumpang dan barang menuju ke Pulau Mandangin. Waktu tempuh ke pulau itu sekitar 1-2 jam, bergantung cuaca.
Saat saya berada di atas perahu yang berlayar menuju ke pulau tersebut, terlihat sejumlah mata penumpang seringkali memandangiku. Seperti hendak mengatakan bahwa saya bukan bagian dari mereka. Memang pada umumnya, pemilik dan penumpang perahu adalah orang Mandangin. Begitu pula dengan para awaknya yang kebanyakan anak muda. Uniknya, mereka tahu persis penumpang 'asli' Mandangin dan 'orang luar' Mandangin. Ketika mengangkut 'orang luar', biasanya di tengah perjalanan sebagian besar awak perahu bercerita tentang kisah cinta Bangsacara dan Ragapadmi yang kuburannya hingga kini masih terawat dengan baik.
Praktis, selama perjalanan di laut saya pun banyak mendapatkan cerita tentang Ragapadmi dan Bangsacara. Sebagian besar dari mereka meyakini bahwa kedua pasangan kekasih sejati itu sebagai 'leluhur' orang Mandangin. Meski sebenarnya dari tilikan dokumen historis yang saya temukan dan baca bahwa di sana pada masa Majapahit telah tinggal Pangeran Pratikel, keturunan dari Ario Lembu Peteng (putra dari Raja Majapahit terakhir). Lembu Peteng ini menjadi cikal bakal dari raja-raja di Madura Barat, termasuk Cakraningrat I (suami dari ratoh ebuh di Arosbaya pada masa kerajaan Mataram). Lembu Peteng kemudian memutuskan untuk turun tahta karena mengikuti jejak Sunan Ampel hingga akhir hayatnya. Makamnya kini berada di lingkungan pemakanan Sunan Ampel Surabaya.
Namun, cerita Bangsacara dan Ragapadmi justru lebih menarik perhatian orang Mandangin dan masyarakat Madura pada umumnya. Bahkan, Sastrawan Madura sekaliber Zawami Imron pun pada tahun 1983 (terbitan Bintang) pernah menuliskan kisah Bangsacara-Ragapadmi sebagai cerita cinta dari Rakyat Madura. Termasuk, pemerhati budaya Madura dari Bangkalan, Moh. Hasan Basra juga pernah menuliskan kisah yang sama.
Cerita Bangsacara-Ragapadmi juga pernah tertuang dalam materi pelajaran sejarah Madura di sekolah pada era Orde Lama dan awal Orde Baru. Sayang, cerita itu kini nyaris tidak terdengar lagi di sekolah Madura. Anak sekolahan di sana lebih senang membaca cerita detektif Conan, Sherlock Homes, Spiderman dan kegilaan Wiro Sableng. Bahkan, para orang tua di sana merasa bangga jika anak-anaknya memiliki pengetahuan dunia 'barat' daripada kehidupan sosial budaya Maduranya. Saya pun sempat terkena imbasnya. Padahal, dibalik cerita Bangsacara-Ragapadmi itu bisa dipetik banyak pelajaran hidup yang tidak kalah berharganya.
Sebagaimana diceritakan dari berbagai sumber, kisah cinta ini berawal dari sebuah kerajaan Pacangan. Konon, Bangsacara merupakan salah satu patih kepercayaan di kerajaan itu. Namanya tersohor karena rakyat mengenalnya sebagai orang bijak, penolong, dan berhati mulia. Sementara, Ragapadmi adalah salah satu putri sang raja, raja Bidarba. Ragapadmi berparas cantik dan baik budi pekertinya, namun menderita penyakit kulit yang membuat tubuhnya penuh nanah berbau busuk. Karena tidak kunjung sembuh, maka dia dipercayakan kepada Bangsacara untuk pengobatannya.
Singkat cerita, Ragapadmi berhasil disembuhkan. Lalu, keduanya pun jatuh hati. Berniat menjadi sepasang kekasih, sehidup-semati di suatu pulau yang tenang serta jauh dari hiruk pikuk kekuasaan.Hingga suatu hari Bangsacara hendak disingkirkan dari kerajaan. Atas nama rajanya, seorang patih lainnya yang iri terhadapnya, memintanya pergi ke pulau (yang kini bernama Pulau Mandangil) dengan ditemani dua ekor anjing peliharaannya untuk berburu 100 ekor rusa. Tetapi, akhirnya dia dibunuh oleh Raga Pate, sesama patih kerajaan itu. Melihat kematian sang kekasih, Ragapadmi lalu bunuh diri di samping jasad Bangsacara. Karena itulah, akhirnya Ragapadmi da Bangsacara beserta kedua ekor anjingya dikuburkan di tempat yang sama.
Ketika perahu sudah bersandar di dermaga Pulau Mandangin, saya pun bergegas menuju ke tempat sepasang kekasih ini dimakamkan. Untuk menuju ke sana hanya membutuhkan waktu sekitar 10-15 menit dari dermaga dengan berjalan kaki. Bahkan bangunan berkubah Masjid seperti petunjuk warga sebagai area makam sepasang sekasih itu sudah bisa dilihat dari tempat perahu yang saya tumpangi bersandar.
Sesampai di tempat yang dituju, terlihat makam mereka benar-benar terawat dengan baik. Kuburan ini berada di dalam bangunan Masjid. Terlihat makam Ragapadmi Dan Bangsacara bersebelahan. Hal ini terlihat dari adanya dua pasang batu nisan yang ditutupi kain putih yang jaraknya sangat dekat. Sementara, di sebelah kanan dan kiri makam mereka berdua terdapat kuburan berukuran pendek tanpa batu. Bisa jadi makam yang pendek itu merupakan tempat dimana kedua anjing mereka dikuburkan. Unruk menjaga makam ini dari tangan tangan jahil tak bertanggungjawab maka dibuatlah pagar besi yang mengelilinginya dengan empat tiang beton di masing-masing sudut.
Tampaknya kini, makam mereka sering dijadikan tempat ziarah baik dari warga pulau mandangin maupun dari orang-orang luar daerah. Tulisan Tempat Istirahat Penziarah di papan kecil yang berada di sisi kiri area makam menjadi bukti penguat. Apalagi ketika saya berada di makam ada dua orang yang sedang tiduran dan ketika ditanya asalnya mereka menjawab dari luar Madura.