Lihat ke Halaman Asli

Melihat Tradisi Kecurangan Pemilu di Sampang

Diperbarui: 18 Juni 2015   06:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Inspirasi tulisan ini berawal  dari ramainya pemberitaan akan adanya praktek-praktek kecurangan di Sampang pasca pelaksanaan pemungutan suara Pilpres 9 Juli kemarin. Komentar miring dan statement negatif  terkait kecurangan tersebut termuat di sejumlah surat kabar harian, di situs-situs berita online serta di media-media sosial lainnya. Banyak tokoh dan pengamat politik negeri ini mencatat bahwa Sampang dan Bangkalan adalah dua kabupaten yang acapkali bermasalah dalam setiap kali dilaksanakan pemilihan umum.

Dalam tulisan ini, penulis sengaja mengkhususkan pembahasan hanya di wilayah Sampang. Hal ini dikarenakan ternyata kecurangan pemilu di Sampang memiliki akar sejarah yang tidak pendek. Berbeda dengan Bangkalan, praktek-praktek kecurangan pemilu di Sampang tidak hanya terjadi pada kali ini saja namun juga pernah terjadi jauh di tahun-tahun sebelumnya.

Berbicara kecurangan pemilu di Sampang, sepertinya mengajak kita untuk melihat praktek-praktek curang yang sudah menjelma sebagai  “tradisi” dengan basis historis. Dalam catatan sederhana penulis,setidaknya terdapat sejumlah peristiwa politik terkait pemilu di Sampang yang bisa dijadikan klaim legitimasi bahwa kecurangan demi kecurangan sudah terjadi lama. Apalagi kecurangan pemilu di Sampang telah di mulai sejak tahun 1997 di saat republik ini hanya mengenal tiga partai dan orde reformasi belum lahir.

Di tahun 1997, Sampang menjadi satu-satunya daerah tingkat II di Indonesia kala itu yang dilakukan pemilu ulang. Peristiwa yang terjadi saat orde baru berkuasa ini dilatar belakangi oleh praktek-praktek rekayasa dan manipulasi suara oleh penguasa untuk memenangkan Golkar. Kecurangan secara massif dan sistematis dilakukan oleh panitia pelaksana pemilu di beberapa TPS dan PPS/kecamatan di seluruh wilayah Kabupaten Sampang kala itu. Praktek-praktek curang seperti mencoblos surat suara sendiri, banyaknya warga yang tidak didaftar sebagai pemilih dan tidak diberikannya form CA/CA-1 ke saksi-saksi PPP  telah memicu kemarahan sebagian besar kyai dan masyarakat Sampang.  Akibatnya,  pada tanggal 29 Mei 1997 terjadilah kerusuhan massal di kota maupun desa dengan membakar kotak suara dan tempat-tempat lainnya untuk menuntut pemilu ulang di Sampang. Banyak korban luka dan meninggal dalam kerusuhan saat ini yang sampai saat ini belum jelas penanganannya. Pasca kerusuhan tersebut, barulah pemerintah menyetujui digelar pemilu ulang pada tanggal 4 Juni 1997 walaupun dalam pelaksanaannya kemudian masih sarat tipu daya.

Selanjutnya,pada Pemilu 2004, Mahkamah Konstitusi  memerintahkan penghitungan ulang di enam kecamatan di Sampang. Keenam kecamatan itu ialah Robatal, Sampang (khusus di Gunung Maddah), Kedungdung, Banyuates, Sokobanah, dan Ketapang. Persitiwa pemilu ulang ini didasarkan pada Laporan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) terhadap adanya penggelembungan suara di Kabupaten Sampang. Menurut saksi PKB, hasil penghitungan suara untuk DPRD II Sampang seharusnya berjumlah 181.095 suara, namun hasil penghitungan suara yang tercatat di KPUD Sampang berjumlah 178.884 suara.

Menanggapi laporan ini kemudian MK memberikan perintah pada Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Sampang berdasarkan Surat Ketetapan Nomor 031/PHPU.C1-II/2004 untuk melakukan pengecekan ulang terhadap sertifikat penghitungan suara.Kala itu, MK memerintahkan KPU membawa kotak suara dari Madura ke Jakarta untuk dihitung ulang. Begitu sampai di Jakarta, ternyata kotak suara tidak utuh dan ternyata separuh kotaknya kosong.

Temuan praktek kecurangan kembali mencuat saat pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Jawa Timur tahun 2008, Sampang kembali mencatat  rekor baru dalam pesta demokrasi tingkat provinsi di Indonesia. Di provinsi lain belum ada pemilihan gubernur sampai dihelat sebanyak tiga putaran. Hanya di Jawa Timur fenomena semacam itu terjadi dan tempatnya di Kabupaten Sampang dan Bangkalan.

Sengketa ini melibatkan duet cagub-cawagub Khofifah Indar Parawansa-Mudjiono (Kaji) versus KPU Jatim dan Panwas. Pihak terkait dengan kasus ini adalah duet cagub-cawagub Soekarwo-Saifullah Yusuf (Karsa). Pihak Kaji menemukan adanya penggelembungan suara di tiga kabupaten. Beda suara Kaji versus Karsa pada Pilgub putaran II di 3 kabupaten di Madura (Bangkalan, Sampang, dan Pamekasan) sekitar 220.000 suara untuk kemenangan Karsa. Namun, setelah turun putusan MK justru Kaji lebih unggul 138.746 suara dibanding Karsa. Bahkan MK  mengatakan dalam Putusan MK nomor 41/PHPU-D-VI/2008 bahwa bentuk pelanggaran itu bersifat terstruktur, sistematis, dan masif.

Setahun kemudian,tepatnya pada pelaksanaan Pemilu DPRD I/DPRD II/DPR dan DPD tahun 2009, salah satu kasus yang mencuat di permukaan adalah tuntutan terhadap penggelembungan suara DPD yang terjadi di kabupaten Sampang. Adalah Abdul Jalil Latuconsina, salah seorang kontestan yang menggugat perolehan tidak wajar calon lainnya yakni Haruna memperoleh 119.000 suara dan Badruttamam memperoleh 135.448 suara di Kabupaten Sampang sedangkan di daerah lainnya hanya mencapai 3.000 an suara. Dugaan ini juga diperkuat oleh adanya sms singkat  dari Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) Kabupaten Sampang kepada saudara Abdul Jalil Latuconsina untuk meminta uang sebesar 15 Juta guna menambah suara. Walaupun tuntutan itu akhirnya kandas, namun keterangan tersebut bisa dijadikan catatan sebagai modus adanya praktek-praktek manipulasi suara di Sampang.

Di tahun 2013, Saat pelaksanaan Pilgub Jatim, Tim pasangan Khofifah Indar Paranwasa dan Herman atau yang lebih dikenal dengan sebutan Berkah menemukan kecurangan tidak disebarkannya undangan pada pemilih secara merata terutama di kantong-kantong pendukung pasangan ini. Di Salah satu desa di Kabupaten Sampang, Tim Berkah menemukan tidak disebarnya undangan sebanyak 12.000 kepada pemilih . Di samping itu, indikasi kecurangan juga didapat dari temuan perolehan suara nol untuk pasangan ini di sejumlah desa di Kabupaten Sampang.

Pada saat pelaksanaan Pemilihan Legislatif di tahun 2014 yang barusan di gelar, Ada dua peristiwa yang semakin menambah daftar kecurangan pelaksanaan pemilu di Sampang. Pertama, Pemungutan Suara Ulang untuk 19 TPS di Dua Kecamatan yakni Kecamatan Robatal dan Ketapang. Rekomendasi Bawaslu soal pemungutan suara ulang dikeluarkan setelah menemukan sejumlah kejanggalan dalam Pemilu legislatif 9 April 2014 lalu. Dari hasil investigasinya, Bawaslu mendapati TPS yang tidak layak di Desa Bira Barat Kecamatan Ketapang dan Desa Pandiyangan Kecamatan Robatal. Selain itu, 100 persen pemilih di hampir 17 TPS memberikan suara untuk satu calon tertentu. Padahal, di sana terdapat pemilih yang buta huruf. Mengetahui hal itu, Bawaslu memutuskan terjadinya pelanggaran substansial sehingga harus dilakukan pemungutan suara ulang. Walaupun semapt ditunda beberapa kali karena mendapatkan penolakan, akhirnya KPU berhasil melaksanakannya pada tanggal 28 April 2014.

Kedua, Penghitungan surat suara ulang  9 (sembilan) desa di Kecamatan Kedungdung pada tanggal 06 Juli 2014. Perintah hitung ulang itu sesuai hasil Keputusan MK dalam sidang kasus perselisihan hasil pemilihan umum yang dilayangkan oleh Partai Nasdem Sampang. Ada sembilan desa di Kecamatan Kedungdung yang diperintahkan MK untuk dilakukan proses penghitungan surat suara ulang, karena diduga terjadi pencurian dan penggelembungan suara. Perolehan Partai Nasdem di beberapa desa kosong padahal versi partai nomor urut 1 tersebut, perolehan suara partai tidak kosong. Hasilnya, ketika dilakukan hitung ulang banyak ditemukan surat suara yang tidak tercoblos dan tidak sah sehingga menyebabkan terjadinya pergeseran suara yang cukup signifikan. Dua caleg yang sebelumnya masuk dalam daftar pemilik jatah kursi akhirnya tergusur.

Melihat catatan peristiwa di atas, maka tidak salah jika kemudian dikatakan bahwa praktek-praktek kecurangan telah menjelma dari perilaku penyimpangan menjadi perilaku tradisi. Layaknya posisi sebuah konstruksi tradisi dalam masyarakat, maka praktek-praktek tersebut amat sulit dihilangkan. Praktek kecurangan telah menjadi bagian yang melekat dari oknum-oknum penyelenggara maupun kelompok masyarakat lainnya. Praktek kecurangan telah terdengar sebagai kabar biasa bukan lagi kabar yang memalukan. Praktek kecurangan telah menjadi titik temu antara kelompok kepentingan,kelompok modal dan kelompok penyelenggara yang sulit untuk dilawan. Bahkan perlawanan pada kecurangan hanya dianggap sebagai teriakan di hutan belantara.

Kondisi ini semakin diperkuat dengan fakta bahwa selama ini pelaku-pelaku curang belum pernah tersentuh oleh hukum. Walaupun beberapa catatan peristiwa pemilu ulang di atas menampakkan dengan jelas telah terjadi kecurangan, namun tidak pernah ada seorangpun yang mendapatkan hukuman. Akhirnya, oknum-oknum pelaku curang merasa kebal hukum dan tak pernah akan jera. Tidak hanya itu, bahkan dalam pengamatan penulis di lapangan, oknum-oknum pelaku curang yang berada di dalam sistem masih tetap saja dipakai dan difungsikan sebagai penyelenggara pemilu. Meskipun di momentum-momentum pemilu sebelumnya sangat jelas bahwa oknum-oknum tersebutlah pelakunya.

Oleh karena itu, guna melakukan amputasi terhadap tradisi curang dalam setiap pemilu di Kabupaten Sampang maka sangat diperlukan komitmen dan tindakan tegas dari aparatur penegak hukum, pengawas dan penyelenggara pemilu. Ketiga elemen ini menjadi wajib menjadi pioner dan penggerak utama dalam upaya melakukan amputasi kecurangan pemilu di Sampang. Bagi,aparatur penegak hukum hendaknya dapat melakukan investigasi secara mendalam dan melakukan penindakan hukum secara tegas tatkala melihat terjadinya kecurangan yang subtansial semisal pencurian dan penggelembungan suara baik di TPS,PPS maupun PPK. Hal ini dimaksudkan agar menimbulkan efek jera bagi pelaku apalagi saat ini sudah ada aturan tindak pidana pemilu yang menguatkannya.

Bagi aparatur pengawas pemilu juga harus bertindak lebih cepat dan proaktif dalam melakukan identifikasi dan investigasi pelanggaran maupun penyimpangan pelaksanaan pemilu. Apabila dalam pemantauan mendapatkan praktek-praktek kecurangan yang mengarah pada pidana pemilu maka Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) mesti sesegara mungkin memberikan rekomendasi pada aparat penegak hukum untuk menindaklajuti temuan tersebut. Dan yang terakhir, bagi Aparatur penyelenggara Pemilu dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) wajib memperketat sistem rekrutmen panitia di bawahnya dengan jalan melakukan “pembersihan” terhadap oknum-oknum penyelenggara terbukti bermasalah mulai dari tingkat PPK sampai KPPS. KPUD harus berani menghilangkan prasyarat bahwa untuk menjadi PPS di tingkat desa harus mendapatkan rekomendasi dari kepala desa. Kesemuanya ini hanya langkah awal dari sekian banyak langkah yang harus ditempuh untuk menjaga kualitas demokrasi di Sampang. Wallahu alam bis showab

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline