Tidak seperti biasanya. Begitu turun dari Ojek langganannya (antar jemput ke sekolah), anak gadis kecilku yang duduk di kelas satu sekolah dasar itu langsung ke kamar mandi. Begitu ia keluar, badannya yang kurus itu dibalut dengan handuk yang melilit di badannya. Tak satu kalimatpun yang keluar dari mulutnya. Kemudian ia masuk kamar, dan langsung menutup pintu. Entah kenapa, dengan sikapnya yang tak lazim itu, membuat kami terperangah, tanpa dikomandoi kami hanya diam dan penuh tanya, akan tetapi dua pasang mata kami selalu mengikuti kemana ia bergerak.
“Dek”, sapa istriku sambil mengetok pintu. Adek ganti baju kok lama betul, kata istriku dengan nada Tanya. “Bentar Bunda”, adek lagi pakai baju, jawab anak gadisku singkat. Tak beberapa lama, anak gadisku pun keluar. Kali ini ia mulai senyum dan sedikit terkesan malu-malu. “Biasanya Adek mandi sore hari, tapi sekarang kok beda”, kataku sudah tak sabaran untuk mendegar ceritanya. Iya Dek, Adek kenapa?, memang di sekolah tadi adek main apa sehingga adek harus mandi?, kata istriku yang semakin tak sabaran sehingga menghujani anak dengan pertanyaan.
Beberapa kali pertanyaan kami, tak satupun dijawab oleh anak gadisku itu. Namun setelah dibujuk akhirnya ia menceritakan kejadian yang menimpanya di sekolah. “Adek malu Bun, Adek malu Ayah” kata anak gadis kecilku itu memulai pembicaraannya. Kenapa malu kata kami serentak. Ia, tadi perut Adek sakit, karena nahan beol (buang air besar), kamar mandinya jauh lagi dari kelas adek, gelap, ngak ada air, kemudian di kamar mandi itu adek ngak bisa nguncinya, karena kuncinya terlalu jauh di atas. Begitu anak gadisku menceritakan kekesalannya terhadap kondisi sekolahnya.
“Kenapa adek ngak minta ditemanin sama teman adek”, kataku sambil mengusap kepalanya. Tadi pas perut adek sakit itu, kami lagi ulangan menggambar, Yah jawab anak gadisku. Lama aku termenung, betapa tersiksanya anak ku ketika itu. Terus, adek tadi beolnya ke kamar mandi sendirian?. Belum selesai istriku bertanya, anak gadis kecilku itu langsung memotongnya. “Adek beol di celana, Bun. Adek ngak tahan lagi, mau ke kamar mandi adek ngak berani, minta ditemanin sama kawan, pasti ngak ada yang mau karena sedang ulangan menggambar. Kejadian sakit perut itu, memang membuat anak gadisku gelisah dan tertekan. Beruntunglah pelajaran menggambar mata pelajaran terakhir, kalau di jam pertama pelajaran, entahlah….
Anak gadis kecil kami itu diterima di sebuah sekolah dasar negeri. Letak sekolah dengan luas yang tidak seberapa itu memang menerima murid di luar kemampuannya. Di akui, sekolah dalam hal ini memang tidak bisa berbuat banyak, karena intimidasi yang luar biasa, membuat pihak sekolah tidak berkutik. Mulai dari kepala sekolah, majelis guru tidak sanggup menolak isi pesan pendek, watshap, line sampai memo kecil di secarik kertas dari berbagai pihak. Singkat cerita, akhirnya anak gadisku dalam satu rombongan belajar mencapai 45 orang.
Mirisnya lagi, murid bertambah, gedung dan fasilitas lainnya tidak ada yang berubah, demikian pula jumlah guru tidak berkesesuaian dengan jumlah murid. Di sisi lain, ingin mengangkat guru honor urung pula dilakukan, terkendala dari mana uang honornya diambilkan. Akhirnya, lagi-lagi pihak sekolah harus membuat kebijakan yang tidak lazim, yakni membuat sekolah dengan pagi-sore.
Melihat kondisi seperti ini, jujur saja apa yang di alami oleh anak gadisku, aku mau marah dengan siapa?. Jika marah aku luapkan kepada guru yang mengajar anak gadisku ketika itu rasanya kurang tepat, karena jumlah 45 murid sebuah angka yang tidaklah kecil untuk urusan pendidikan, apalagi murid kelas satu sekolah adasar. Atau kekesalan aku luapkan pada kepala sekolah sebagai penanggung jawab sekolah yang dipimpinnya, karena sebagai pimpinan harus bertanggung jawab, dari segala hal termasuk pengadaan fasilitas sebagai pendukung sehingga dengan kelengkapan yang memadai akan membuat murid-murid dan warga sekolah merasa nyaman. Rasanya tak adil dan tidak tepat jika kesalahan ini menjadi wilayah kepala sekolah sepenuhnya. Lalu aku mau marah ke pemerintah?. Ah, suaraku tak bisa kencang, percuma saja.
Melihat penerimaan peserta didik baru (PPDB) yang berlangsung tiap tahun di kota kami, semakin kacau dan tidak terkendali. Bahkan jujur saja, tidak terlalu sulit untuk membuktikannya, kalau pelaksanaan PPDB sudah menjadi ajang mata pencaharian baru bagi beberapa oknum dengan mencatut dan mengantongi restu dari beberapa orang hebat dan punya kedudukan. Mereka berkeliaran, ke sekolah-sekolah dan mencari calon mangsa yang kebingungan karena anaknya belum juga diterima karena nilai yang tak mencukupi.
Aneh, persoalan PPDB yang diselenggarakan tiap tahun itu tidak dijadikan sebagai masalah yang serius. Nasi selalu menjadi bubur. Enak tak enak harus tetap ditelan. Begitu PPDB selesai, semua orang hilang. Padahal penerimaan murid baru yang melebihi daya tampung menyebabkan permasalahan yang tidak sedikit. Misalnya seperti ruang belajar, kursi, meja dan guru itu sendiri. Kesimpulannya, kepala sekolah dan majelis guru telah berkorban yang tidak diketahui oleh banyak orang termasuk pemerintah itu sendiri. Tidak ada pilihan, dibanyak sekolah akhirnya kepala sekolah memberlakukan belajar pagi dan siang. Persoalan ini lebih murah kosnya dari pada membangun ruang belajar dengan meminta uang kepada orang tua yang jelas-jelas tindakan yang sangat dikutuk oleh banyak orang. Di sisi lain, menunggu bantuan pemerintah untuk membangun ruangan belajar??, tidak seperti membalikan telapak tangan.
Jadi pantaskah persoalan runyam yang disebabkan oleh PPDB yang amburadul itu menjadi domainnya kepala sekolah dan majelis guru?. Untuk sementara, jawabannya ia. Lalu posisi pemerintah dimana?, sampai setakat ini pemerintah bukanlah cuek, akan tetapi belum juga menemukan formula yang pas.
Hmmm.... Nasib badan lahtu.