Efek kebijakan Presiden AS Donald Trump di bidang energi yang mengabaikan idea energi keberlanjutan kini menciptakan dilema bagi negara-negara berkembang. Tidak terkecuali Indonesia. Keputusan Trump mengeluarkan AS dari Paris Agreement 2015 berdampak langsung pada tatanan energi terbarukan, terutama dari segi pendanaan lembaga-lembaga keuangan dunia untuk proyek-proyek energi bersih. Menteri ESDM Bahlil Lahadia mengungkap ketidakpastian perkembangan sektor energi baru terbarukan (EBT) di dalam negeri pasca AS memutuskan mundur dari Perjanjian Iklim Paris.
Dalam keterangannya baru-baru ini Bahlil mengatakan bahwa "Bicara tentang energi baru terbarukan ini bicara tentang sesuatu yang kesini-kesini sudah mulai hampir ketidakpastian,"
Bahkan Bahlil juga secara terbuka mengungkap dilema Indonesia prihal pemanfaatan energi-energi terbarukan: "Yang namanya green energy, cost-nya pasti lebih mahal. sebenarnya kita pada posisi yang sangat dilematis untuk mengikuti 'gendang' ini,"
Mungkin banyak dari kita yang bertanya-tanya mengapa keluarnya AS dari kesepakatan iklim membuat Indonesia dilematis? Bukan saya yang akan menjawab ini tapi menteri Bahlil. Menurut Bahlil AS merupakan negara yang memiliki peran besar dalam pembentukan dan pemeliharaan kesepakatan internasional terkait perubahan iklim. Sebagai negara pelopor dan pemelihara kesepakatan maka dapat disimpulkan bahwa AS itulah yang menentukan tatanan energi terbarukan. "kalau otaknya, kalau pemikirnya, negara yang memikirkan ini saja mundur, masa kita yang follower ini mau masuk pada jurang itu?," begitu ungkapan realistis menteri Bahlil terhadap posisi dilematis Indonesia setelah AS menarik diri dari kesepakatan iklim Paris.
Lalu, bagaimana kita menyikapi dilema ini? Apakah kita segera meninggalkan komitmen energi terbarukan atau kembali pada energi fosil yang notabene berkontribusi besar pada perusakan lingkungan?
Mari kita lihat Cina. Negara raksasa infastruktur ini menjadi negara yang jawara dalam pemanfaatan energi terbarukan di dunia. Dalam 5 tahun terakhir Negara di bawah kepemimpinan Xi Zinping tersebut telah memanfaatkan energi terbarukan menuju 50% dari total energi negara. Pada tahun 2021 energi terbarukan menyumbang 30% listrik. Tahun 2022 dan 2023 Cina mencatatkan rekor sebagai negara yang memasang panel tenaga surya terbesar di dunia dengan perkiraan menghasilkan energi sebesar 560 GW. Pada tahun 2024, Badan Energi Internasional memperkirakan Cina akan menguasai 50% produksi energi terbarukan di dunia. Data terbaru dari Badan Energi Nasional (National Energy Administration/NEA) China menerangkan bahwa kapasitas terpasang energi terbarukan secara kumulatif mencapai rekor tertinggi, yakni 56 persen dari total kapasitas terpasang nasional.
Saya mau katakan bahwa Cina telah menjadi bukti keberhasilan pemanfaatan energi terbarukan dan menjadi negara yang paling konsisten menjalankan Perjanjian Iklim Paris 2015. Sekaligus menjadi bukti bahwa keseriusan pemerintah menjadi kunci utama pemanfaatan energi terbarukan demi menunjang kemandirian energi nasional. Dilema akibat minggatnya AS dari perjanjian iklim tentu berpengaruh tetapi seharusnya tidak menjadi hambatan berarti bagi negara kita untuk terus menggenjot energi-energi terbarukan yang memang banyak dimiliki bumi Indonesia. Cina sudah sebaiknya menjadi contoh ideal bagi Indonesia dalam memanfaatkan seluruh potensi energi terbarukan yang ada.
Apalagi kalau bicara cadangan maka kita ketahui bersama bahwa cadangan energi terbarukan kita sangatlah mumpuni. Sementara pemanfaatannya sangatlah belum maksimal. Perhatikan gambar di bawah ini:
Data di atas menunjukkan berbanding terbaliknya potensi energi terbarukan yang dimiliki dengan minimnya pemanfaatan. Kenyataan seperti ini sudah barang tentu menjadi alat pemicu bagi Indonesia untuk secara serius dan konsisten melakukan pemanfaatan energi terbarukan yang dimiliki. Namun demikian, sebagai bangsa besar kita tidak boleh pesimis. Terutama pula, awal tahun 2025 telah menjadi tonggak dalam pemanfaatan energi terbarukan. Sebagaimana diketahui bersama, sebanyak 37 proyek strategis energi diresmikan Presiden ke 8 RI tersebut. Adapun penyebaran proyek energi tersebar di 18 provinsi. Sebesar 3,2 GW energi bersih yang dihasilkan dari 37 proyek strategis yang diresmikan dalam satu hari oleh Presiden Prabowo.