Pada hari minggu, tibalah saatnya Rene, Yota, Nikola dan Soren menyambangi Ariston di rumahnya. Sebagai tuan rumah, Ariston langsung menyuguhkan kopi kepada tamunya. Setelah basa basi sebentar, lima orang masing-masing mulai mengerutkan dahi bertanda diskusi seru akan dimulai.
Gini Ariston, minggu lalu kami berempat telah mendiskusikan dua karakter dasar pemimpin yaitu perampok dan pelayan, bahkan kami telah sampai pada pembahasan mengenai kaitan antara sistem kedaulatan dengan karakter pemimpin tersebut; timpal Nikola. Kemudian Rene melanjutkan bahwa kami juga telah sampai pada identitfikasi karakter pemimpin berdasarkan beberapa jenis kedaulatan.
Pada akhirnya kami sampai pada kesimpulan bahwa demokrasi menjadi sistem yang paling mutlak dapat melahirkan pemimpin yang berkarakter pelayan. Yota menambahkan bahwa sebenarnya nomokrasi juga berpotensi tetapi masih relatif karena tergantung dari muatan atau ketentutan hukumnya. Soren tiba-tiba melemparkan pertanyaan, kira-kira bagaimana dengan konteks dewasa ini, apakah demokrasi benar-benar melahirkan pemimpin-pemimpin yang berkarakter pelayan?
Sambil mengepul asap rokoknya, Ariston menjelaskan dengan cukup lantang bahwa anggapan tentang demokrasi berpotensi besar melahirkan pemimpin yang berkarakter pelayan hanyalah utopia![1] Semua dari merekapun terheran-heran, mengapa Ariston berani menggugurkan hasil analisis mereka minggu lalu. Orang yang menggemari kajian filsafat ini kemudian menceritakan mengenai Sokrates yang pesimis dengan demokrasi.
Sokrates, lanjutnya; ragu dengan demokrasi bukan karena demokrasi itu buruk, tetapi tidak setuju dengan mekanisme demokrasi yang pemimpinya dipilih oleh setiap rakyat. Maha karya Plato Politeia, yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia (walaupun keliru) "Republik" menuliskan pandangan pesimistis Sokrates tentang demokrasi.[2] Plato menggambarkannya dalam bentuk dialog antara Sokrates dengan Adeimantus.
Dalam diaolog ini, Sokrates menganalogikan masyarakat sebagai kapal dan pemimpin sebagai nakhoda. Sokrates bertanya kepada Adeimantus: Kalau anda sedang berpergian naik kapal, siapa yang menurut anda paling ideal untuk menjadi nakhoda? Apakah siapa saja boleh? atau hanya orang-orang yang berpendidikan yang berkemampuan untuk menghadapi perjalanan laut? Adeimantus menjawab: tentu saja yang kedua (orang berpendidikan).
Kemudian Sokrates menanggapi: lalu mengapa kita terus berpikir bahwa semua orang, boleh menilai siapa yang akan menjadi pemimpin sebuah negara? Jika disandingkan dengan pemilu maka pada konteks ini menyinggung soal pemilu yang mana setiap rakyat dapat memilih penguasa secara langsung. Padahal, tidak semua rakyat berpendidikan. Jika kita melihat praktik pemilu dalam demokrasi sekarang ini, yang pantas dikritik jika mengikuti alur pikiran Sokrates adalah prinsip satu kepala satu suara (one man, one vote).
Yota merasa penjelasan Ariston sudah jauh panggang dari api, ia kemudian secara sinis bertanya; lalu apa hubungannya dengan pernyataanmu tadi terkait karakter pemimpin sebagai pelayan dalam demokrasi hanyalah utopia atau angan-angan? Sembari mengepul dengan sedikit menggebu Ariston mulai menjawab dengan diawali pertanyaan; bagaimana mungkin orang-orang bodoh mengetahui bahwa seseorang layak menjadi pemimpin? Bagaimana mungkin seorang menjadi pemimpin yang berkarakter pelayan, sementara orang-orang yang memilihnya bodoh dan mudah diperdaya?
Ketika para pemimpin dipilih oleh kebanyakan orang bodoh dan mudah diperdaya, bukankah pemimpin itu akan menjadi perampok! Coba kalian bayangkan di suatu desa terpencil yang mayoritas warganya bodoh. Suatu waktu, tiba saatnya untuk mereka memilih pemimpin (kepala desa). Sebagaimana demokrasi berkehendak bahwa pemimpin harus dipilih oleh setiap warga desa yang punya hak pilih. Sudah bukan hal yang mustahil ketika mereka memilih pemimpin, yang mereka lihat bukanlah kualitas dan kapasitas calon pemimpin, tetapi kedekatan emosional mereka dengan calon pemimpin. Bayangkan jika orang yang terpilih itu tidak diketahui warga desa bahwa ia adalah orang licik dan "tukang utang" di bank di kota. Apakah ia tetap menjadi pelayan masyarakat desa tersebut?
Ketika anggaran dana desa yang turun langsung dari pusat yang berjumlah Rp.1 miliar ke rekening desanya, haruskah sang kepala desa menyerap anggaran itu untuk kepentingan desa? Tentu saja dalam hal ini ia tidak berkewajiban untuk menggunakan anggaran itu demi kepentingan kemajuan desa; bukan karena desa tidak membutuhkan pembangunan, tetapi karena ia sadar bahwa warga desanya yang mayoritas bodoh tidak akan mengerti soal anggaran. Bisa saja sang kepala desa menyampaikan kepada warganya bahwa anggaran tersebut adalah hak keuangan pengurus desa untuk setiap tahun.