Di suatu kampung hidup sebuah keluarga bahagia nan harmonis. Mereka adalah Fus dan Sebet. Pasangan ini sama-sama sebagai PNS, tepatnya sebagai Guru SD. Mereka dikarunia lima orang anak; tiga laki-laki dan dua perempuan. Guru Fus dan Ibu Sebet (begitu orang di kampung memanggil mereka) sudah berpulu-puluh tahun mengabdi pada negara untuk mendidik generasi bangsa.
Tentu setiap waktu mreka selalu memikirkan bagaimana pola didik terbaik agar anak-anak yang mereka didik dapat berguna bagi diri sendiri, masyarakat dan negara. Menjadi abdi sudah melekat dalam kedirian mereka. Bicara soal dedikasi untuk orang lain sudah menjadi identitas mereka. Semangat mengabdi dan dedikasi pun terus mereka kobarkan dalam keseharian hidup di lingkungan masyarakat.
Tanpa mereka sadari semangat mengabdi yang mereka miliki tidak lagi atas tuntutan profesi dan pekerjaan mereka sebagai guru, tetapi menjadi tuntutan kemanusiaan dalam diri mereka. Tidak heran kedua guru ini sangat aktif dalam kegiatan-kegiatan yang bersifat sosial seperti kegiatan keagamaan, adat, kegiatan bakti dll.
Bahkan kegiatan-kegiatan pribadi dari masyarakat seperti acara nikahan, selalu mengandalkan kedua guru ini. Biasanya ibu Sebet dalam hal ini kerap didapuk sebagai kepala masak, pokoknya urusan logistik acara. Sementara itu, guru Fus selalu sebagai pemberi tuah. Secara kehidupan rutinitas, sebenarnya guru Fus menanggung cukup banyak tugas. Selain sebagi Kepala Sekolah dia juga menduduki jabatan penting dalam struktur keagamaan.
Pada akhirnya, semangat pengabdian, dedikasi dan keteladanan mereka kemudian mempertegas ketokohan mereka di kampung tersebut. Masyarakat di kampung pun sangat menghormati mereka hingga berusaha meneladani semangat dan cara hidup yang selalu mereka kobarkan.
Suatu waktu, anak mereka yang telah menyelsaikan kuliah sarjananya di tanah seberang maju sebagai calon legislatif daerah kabupaten dan ajaibnya anak muda itu langsung terpililh dan mengalahkan calon-calon lain yang sebenarnya sudah makan garam di dunia politik daerah. Ketika anak mereka terpilih, orang-orang di kampung bahkan sekecamatan tidak heran karena mereka tahu bahwa itu adalah hasil dari pengabdian, dedikasi dan teladan hidup orang tuanya.
Cerita kedua guru di atas menggambarkan cara hidup dan perbuatan baik yang didorong oleh semangat pengabdian dan kemanusiaan. Kedua guru tersebut mengajarkan kita tiga hal: pertama, tidak boleh terpasung oleh status pekerjaan dan profesi. Artinya dalam kita menjalani kehidupan dengan orang lain atau dalam bermasyarakat, kita harus selalu mampu melepaskan gengsi status kita. Status dan jabatan kita tidak boleh menjadi pagar pembatas untuk kita mempraktikkan kemanusiaan dalam bentuk perbuatan-perbuatan baik terhadap sesama.
Kedua, untuk selalu melakukan investasi kemanusiaan. Hal demikian tentu dilakukan dalam bentuk melakukan perbuatan-perbuatan baik terhadap sesama. Semakin sering kita berbuat baik, maka semakin sering pula kita akan mendapatkan yang terbaik. Dalam konteks ini, rasa-rasanya kita akan mengamini keyakinan secara religius yang mengatakan: apa yang kau tanam, itulah yang kau tuai. Dengan kita selalu menanam perbuatan baik maka kelak kita menuai hal yang baik. Kalau kita menanam duri, jangan bermimpi dapat memanen padi, tetapi kalau kita menanam padi, kita pasti akan memanen padi.
Ketiga, senantiasa hidup dengan penuh keiklasan. Praktik investasi kemanusiaan dari kedua guru di atas, tentu tidak akan berbuah baik jika dilandasi kepentingan terselubung (hidden interest) seperti: keuntungan harga diri; politik; gengsi sosial; dll. Sama halnya dengan hidup semu, setiap kepentingan terselubung juga tidak akan bertahan lama. Agar kita tidak terjebak dalam hidden interest tersebut, maka sangat perlu bagi kita untuk senantiasa berbuat baik atas dasar suatu prinsip bahwa kita manusia memang dikodratkan untuk itu.
Perlu diingat kembali bahwa maksud dari hidup sebagai kredit abadi tidaklah menuntut (mengharuskan) dan menuntun (menjadi pedoman) kita untuk menjadi manusia yang sarat perhitungan dalam menjalani keseharian hidup dengan orang lain. Istilah "membayar" dan "dibayar" bukan merujuk pada pertimbangan ekonomis atau keuntungan materi, melainkan pada nilai moralitas dalam diri manusia.