Tidak boleh dinafikan bahwa keberadaan masyarakat adat sangatlah rentan di Indonesia meskipun konstitusi (UUD 1945) secara tegas mengakui dan menghormati keberadaannya. Akan tetapi, tidak boleh menolak fakta juga bahwa masyarakat adat yang rentan tersebut seringkali digunakan sebagai senjata untuk melawan negara.
Hal ini biasaya dilakukan oleh kelompok-kelompok tak bertanggung jawab; baik yang berjubah agama maupun lingkungan. Maka dari itu, masyarakat adat sangatlah butuh kepastian hukum yang kuat supaya keberadaannya tidak saja diakui dan dihormati tetapi dijamin dan dilindungi hukum.
Sebelum kita bicara lebih jauh terkait masyarakat adat butuh kepastian hukum, marilah terlebih dahulu mengerti arti masyarakat adat menurut hukum. Di dalam hukum positif (hukum yang berlaku sekarang) terutama dalam peraturan perundang-undangan, belum diatur secara jelas dan teknis terkait masyarakat adat. Namun demikian, perlu diketahui bahwa sebenarnya sudah ada Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat (RUU Masyarakat Adat).
Tentu saja tidak untuk mendahului hukum positif, mari kita cermati definisi hukum masyarakat adat. Pasal 1 ayat (1) RUU Masyarakat Adat menerangkan: masyarakat adat adalah sekelompok orang yang hidup secara turun temurun di wilayah geografis tertentu, memiliki asal usul leluhur dan/atau kesamaan tempat tinggal, identitas budaya, hukum adat, hubungan yang kuat dengan tanah dan lingkungan hidup, serta sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, budaya, dan hukum.
Ketentuan Pasal 1 ayat (1) RUU di atas kemudian dipertegas dalam Pasal 5 ayat (2) terkait persyaratan pengakuan sebagai masyarakat adat: mempunyai paguyupan yang berdasarkan keterikatan turunan/wilayah; memiliki batas wilayah yang secara turun temurun; mempunyai kearifan lokal; mempunyai hukum adat; dan memiliki kelembagaan adat yang diakui dan berfungsi. Proses pengakuan masyarakat adat tidak kalah rumit.
Di dalam tahapannya dilakukan dengan proses yang cermat sebagaimana dalam ketentuan Pasal 6: tahap identifikasi; verifikasi; validasi; dan penetapan. Untuk melakukan 4 tahapan tersebut dibentuk panitia yang bersifat ad hoc (tidak tetap-sementara). Panitia yang dibentuk berjenjang yakni dari kabupaten, provinsi hingga kementerian terkait. Jika seluruh syarat dan tahapan telah dilakukan maka barulah suatu masyarakat disebut masyarakat adat.
Apabila mencermati ketentuan-ketentuan RUU Masyarkat Adat dalam mengupayakan pengakuan hukum terhadap masyarakat adat maka dapat dipahami bahwa klaim sebagai masyarakat adat tidaklah boleh serampangan. Ditinjau dari sudut pandang hukum, materi muatan RUU Masyarakat Adat di atas sebenarnya memberi kepastian hukum sekaligus penegasan terhadap ketentuan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945:
Negara mengakui dan menghormati kesatuan kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Kepastian dan penegasan yang dimaksud ialah bahwa ketentuan Pasal 18B ayat (2) sudah jelas memberikan legitimasi (pengakuan) konstitusional terhadap masyarakat adat. Namun demikian, pengakuan demikian tidaklah bersifat mutlak alias bersyarat. Bersyarat artinya suatu masyarakat adat diakui, dilindungi dan dihormati negara sepanjang masih hidup dan dipraktekan. Lebih dari itu, sepanjang telah sesuai dengan syarat-syarat sebagaimana dalam RUU Masyarakat Adat di atas.
Pertanyaannya sekarang ialah mengapa keberadaan masyarakat adat masih sangat butuh kepastian hukum, padahal sudah diakui secara konstitusi (18B UUD 1945)? Untuk menjawab pertanyaan ini, tentu butuh penalaran yang cukup. Ada 3 alasan mengapa legal standing masyarakat adat masih butuh kepastian hukum.