Kerja tidak terpuji DPR dan Presiden dalam upaya menganulir putusan 60 MK yang menurunkan ambang batas pencalonan kepala daerah, melalui RUU pilkada, pada sisi lain membenturkan putusan MA dengan putusan MK. Pertanyaannya sekarang ialah mana yang lebih tinggi kedudukannya? Apakah putusan MA yang dipakai oleh DPR dan Presiden demi meloloskan putra raja? Atau putusan MK yang didukung rakyat Indonesia?
Untuk menjawab pertanyaan ini, pertama-tama kita perlu pahami kewenangan MA dan MK dalam hal pengujian peraturan perundang-undangan.
Kewenangan MA dalam hal menguji peraturan tercantum dalam Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi: Mahkamah Agung, berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundangundangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.
Ketentuan pasal di atas sudah sangat jelas mengatur bahwa MA berwenang menguji peraturan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. Artinya, segenap peraturan perundang-undangan yang berada di bawah undang-undang dapat diujimaterikan di MA supaya MA mengujinya terhadap undang-undang; apakah materi peraturuan di bawah undang-undang yang diujikan tersebut sesuai atau tidak sesuai dengan undang-undang.
Dengan demikian, jika MA melakukan perubahan pada peraturan di bawah undang-undang maka materi peraturan-peraturan tersebutlah yang diubah bukan undang-undangnya. Hal ini juga berarti bahwa materi undang-undang sama sekali tidak boleh mengacu pada putusan MA. Dengan lain perkataan, UU tidak boleh diubah karena MA mengubah materi peraturan di bawah UU yang diujimaterikan terhadap UU.
Ini artinya, PKPU misalkan...sama sekali tidak kemudian mengubah UU Pemilu ataupun Pilkada. Sama halnya dalam polemik MA yang mengubah ketentuan umur pada PKPU Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota. Hasil putusan MA atas ujimateri PKPU terhadap UU sama sekali tidaklah dapat mengubah materi UU sebagaimana yang diupayakan DPR dan Presiden dalam RUU Pilkada. Alasannya jelas, karena MA memang tidak berwenang atas materi UU sehingga materi UU tidak dapat mengacu pada putusan MA.
Sementara itu, kewenangan MK dalam hal menguji peraturan diatur dalam Pasal 24C ayat (1) yang berbunyi: Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UndangUndang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Ketentuan pasal di atas sudah sangat jelas mengatur bahwa MK berwenang menguji UU terhadap UUD dan hasil putusan MK ini bersifat final dan mengikat. Menguji materi UU terhadap UUD artinya MK menguji apakah materi undang-undang sesuai atau tidak sesuai dengan ketentuan UUD. Karena MK menguji undang-undang maka hasil putusan MK dalam hal menguji materi undang-undang adalah mengubah materi undang-undang terkait sesuai dengan putusan MK.
Apalagi putusan MK itu bersifat final dan mengikat. Final artinya tidak dapat diuji kembali. Mengikat artinya putusan langsung mengikat setelah dibacakan sehingga seluruh peraturan, mulai dari UU hingga peraturan di bawah undang-undang yang diujimaterikan wajiblah mengikuti putusan MK. Hal ini juga berlaku bagi Putusan MK Nomor 60 (ambang batas pencalonan) dan 70 (umur calon). Lebih lanjut, perlu dipahami bahwa materi UU yang diubah karena Putusan MK haruslah ditindaklanjuti oleh pembuat UU untuk mengubah UU sesuai dengan Putusan MK.
Lalu, mana yang lebih tinggi kedudukannya apakah putusan MA atau putusan MK?