Demokrasi, kata yang selalu dilontarkan berbagai kalangan profesi baik Politisi, Akademisi, Aparat Negara, Advokat hingga Sipil dalam menggambarkan seperti apa Indonesia sejak dulu hingga saat ini. Namun sama dimulut tapi lain di praktik, demikian maksudnya ialah setiap orang memiliki perbedaan dalam memahami arti dan maksud Demokrasi, walaupun disepakati secara etimologi ialah kekuasaan rakyat yang secara tafsir semestinya rakyat adalah pemegang utama kedaulatan dan perangkat negara adalah fasilitator untuk memfasilitasi rakyat mencapai kedaulatan tersebut namun sayangnya itu hanyalah definisi dari arti kata bukan implementasi dalam bentuk nyata.
Sejarah mencatat Indonesia sudah melalui berbagai macam praktik demokrasi, dimulai dari demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, demokrasi Pancasila ala Orde Baru dan Demokrasi pasca Reformasi atau bahkan mungkin saat ini seperti apa yang Pak Ichsanuddin Noorsy (pengamat ekonomi) katakana bahwa saat ini Indonesia berada dalam jeruji Demokrasi Korporasi, tapi apapun itu nyatanya demokrasi tidak diterapkan sebagaimana mestinya dan kekuasaan rakyat hanya angan bahkan sekedar teori dalam sebuah ilmu pengetahuan.
Fluktuasi Demokrasi di Indonesia
Seperti yang sudah disebutkan bahwa Indonesia mengalami banyak fase Demokrasi jika dilihat dari Sejarah tentu itu adalah sebuah hal yang unik, akan tetapi perbedaan konsep demokrasi di setiap era itu memperlihatkan juga adanya perbedaan intelektualitas yang hidup dan berkembang. Karena pada dasarnya intelektualitas adalah mesin utama Demokrasi, ibarat demokrasi adalah rangkaian kereta dan intelektualitas adalah mesin lokomotif penggerak kereta, beda mesin beda kecepatan dan beda kereta tentu berbeda pula fasilitas di dalamnya. Seperti itulah Demokrasi yang begitu berbeda variannya, namun yang berbahaya ialah Demokrasi tanpa intelektualitas atau Demokrasi hanya dijadikan alat untuk menutupi dominasi kuasa elite atas rakyat.
Menurut Laporan Komnas HAM pada Tahun 2022, di era kepemimpinan Jokowi dalam situasi demokrasi di Indonesia cenderung mengalami regresi (kemunduran). Tentu ini menjadi catatan buruk mengingat kita saat ini yang ada dalam suasana Reformasi yang dimana cita-cita Reformasi itu sendiri ialah mengembalikan marwah Demokrasi setelah kekuasaan otoriter berkedok Demokrasi Pancasila berkuasa 32 Tahun lamanya. Akan tetapi justru kemunduran Demokrasi seolah memang menjadi agenda rezim, mengapa demikian?
Jika kita membuka mata secara lebar, maka kita akan melihat para tokoh-tokoh elite yang memegang kendali kekuasaan baik didepan layar ataupun dibalik layar merupakan kroni-kroni yang tumbuh dan berkembang di era Orde Baru, mereka adalah warisan orba dan kita berharap mereka melaksanakan agenda reformasi dengan semestinya? Jelas tidak mungkin, adapun para pejuang reformasi yang masuk ke dalam kekuasaan pada akhirnya tunduk dan menjadi kacung elite seolah lupa bagaimana keras nya perjuangan dimasa lampau. Dan inilah yang menjadikan Demokrasi di Indonesia pasca reformasi hanya massif diawal tetapi semakin lama semakin menurun kualitasnya yaitu dikarenakan masih banyaknya warisan orba menghiasi ruang-ruang kekuasaan dan para pejuang reformasi yang bungkam ketika masuk ke dalam kekuasaan. Sehingga suara-suara dari luar kekuasaan saat ini hanya dianggap angin lalu yang akan lenyap oleh represifitas aparat.
Sehingga naik-turun nya pemaknaan maupun penerapan Demokrasi adalah tergantung siapa yang berkuasa dan sejauh mana suara diluar kekuasaan. Pada dasarnya penguasa tidak akan ada yang sedemokratis yang dibayangkan, kepentingan golongan atau pribadi adalah yang senantiasa diperjuangkan lebih awal karena melihat bagaimana salah satu instrument Demokrasi hari ini yaitu partai politik tidak menjadi wadah yang memberikan pendidikan Demokrasi yang semestinya, mereka hanya mengatur strategi dan cara untuk bisa menduduki kursi-kursi kekuasaan. Maka sangat naif jika menggantungkan Nasib pada mereka, satu-satunya jalan menyelamatkan Demokrasi di Indonesia adalah mencerdaskan rakyat dengan literasi, dengan kekayaan intelektual lah yang akan menjadi senjata ampuh dalam melawan kekuasaan apabila kekuasaan tersebut keluar dari jalur yang seharusnya. Rakyat harus siap menjadi oposisi alami demi menciptakan check and balance di sebuah negara, karena menitipkan nasib opoisisi kepada sesama elite adalah MALAPETAKA!
Secara Amanat Rechstaat, Tetapi Secara Praktik Machstaat
Indonesia menerapkan konsep Rule of Law sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat (3), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Ini merupakan amanat Konstitusi yang memang isi nya mencita-citakan negara Indonesia adalah yang berdasarkan hukum (rechstaat) dan bukan berdasarkan kekuasaan (machstaat). Negara hukum menjadi suatu cita-cita para Founding Father kita ialah dikarenakan negara hukum sejalan dengan konsep negara demokrasi, atau bahkan menurut alm. Prof Arief Sidharta dalam salah satu jurnalnya yang berjudul "Kajian Kefilsafatan tentang Negara Hukum", ia merumuskan pandangannya tentang unsur-unsur dan asas-asas Negara Hukum itu secara baru, yaitu meliputi 5 (lima) hal yang dimana salah satunya adalah Asas Demokrasi.
Namun pada kenyataannya saat ini, Prinsip-prinsip yang dianggap ciri penting Negara Hukum menurut "The International Commission of Jurists yaitu Negara harus tunduk pada hukum, Pemerintah menghormati hak-hak individu dan Peradilan yang bebas dan tidak memihak seolah semakin redup. Prinsip-prinsip itu dikhianati kendati demi golongan tertentu yang memiliki hasrat akan suatu kepentingan. Agenda-agenda penyelundupan hukum yang dilakukan oleh rezim selalu sukses walau diterpa badai penolakan massa yang begitu massif.
Semisal, ada beberapa rekam jejak rezim yang memaksakan kehendak untuk mengesahkan produk hukum yang tidak disetujui oleh Masyarakat karena berpotensi menimbulkan masalah yaitu RUU KPK, RUU Minerba, RUU KUHP, RUU MK dan RUU Sapu Jagat atau yang dikenal Omnibus Law Cipta Kerja. Saat ini kesemuanya telah disahkan dan bagaimana faktanya? KPK semakin melemah, MK semakin tidak independent, Mayarakat terancam pidana apabila menolak proyek tambang dan yang lebih saktinya lagi yaitu UU Cipta Kerja yang telah diputus MK Inkonstitusional bersyarat akan tetapi lewat main serongnya rezim akhirnya bisa diakali tanpa harus merevisi UU Cipta kerja akhirnya lewat terbitnya Perppu dan disahkan Kembali menjadi UU akhirnya UU Cipta Kerja hidup Kembali.