Lihat ke Halaman Asli

Perppu Cipta Kerja Jokowi: Langkah Antisipasi Krisis Global dengan Membiarkan Krisis Kemanusiaan hingga Contempt of Constitutional Court

Diperbarui: 5 Januari 2023   19:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Pada 30 Desember 2022 Presiden Jokowi menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPPU) No. 2 Tahun 2022 tentang undang-undang Cipta Kerja. Sungguh kado akhir tahun yang sangat indah bagi para Kelas Kapital (Pemodal) dan bencana buruk bagi masyarakat terkhusus kelas pekerja. 

Sebelum masuk pada pembahasan perlu diingat juga bahwa Mahkamah Konstitusi pada 25 November 2021 melalui Putusan No. 91/PUU-XVIII/2020 bahwa "Omnibus Law" Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja dinyatakan INKONSTITUSIONAL BERSYARAT. 

UU Cipta Kerja cacat secara formil dan MK memberikan tenggat waktu selama 2 (dua) tahun untuk proses perbaikan daripada UU tersebut, apabila selama waktu yang telah ditentukan pemerintah belum menyelesaikan perbaikan tersebut maka UU Cipta Kerja akan INKONSTITUSIONAL SECARA PERMANEN.

Namun, bukannya berupaya untuk melakukan perbaikan sesuai dengan amanat Mahkamah Konstitusi, Jokowi justru membuat Perppu untuk tetap memaksakan kehendak agar implementasi daripada UU Cipta kerja tidak terkendala, entah karena untuk mengantisipasi krisis global atau karena desakan para pemodal atau memang cara untuk mengantisipasi krisis  dengan membuat kebijakan yang isi nya justru menyebabkan krisis kemanusiaan (penindasan) ?

Setelah secara serampangan menerbitkan Perppu atas UU yang dinyatakan Inkonstitusional bersyarat oleh MK, isi daripada Perppu tersebut ternyata pun sudah bisa ditebak yaitu berisikan kebijakan yang tidak pro kepada masyarakat terkhusus masyarakat klas pekerja. Terdapat beberapa ketentuan yang dianggap sangat merugikan klas pekerja semisalnya :

  • Pasal 77 ayat (2) menjelaskan waktu kerja bagi pekerja maksimal 40 jam kerja dalam satu minggu. Adapun pengaturannya yaitu 7 jam 1 hari untuk 6 hari kerja dalam satu minggu atau 8 jam kerja satu hari untuk 5 hari kerja dalam satu minggu.
  • Sedangkan dalam pasal 79 ayat (2) huruf b menyatakan istirahat mingguan 1 hari untuk 6 hari kerja dalam satu minggu.

Kedua pasal tersebut memiliki pengaturan soal jam kerja namun terdapat dua maksud berbeda yang berpotensi menjadi polemik baru dalam dunia ketenagakerjaan dikarenakan akan timbul kemungkinan perusahaan yang akan menerapkan 6 hari waktu masuk kerja. 

Hal ini justru berbanding terbalik dengan analisis hasil proyek ini diterbitkan oleh lembaga think tank Autonomy dan organisasi penelitian Association for Sustainability and Democracy pada Juli 2021 lalu. Islandia sejak 2015 sampai 2019 telah menjalani dua uji coba pengurangan jam kerja berskala besar. 

Jam kerja yang awalnya 40 jam dikurangi menjadi 35 sampai 36 jam, tanpa adanya pengurangan gaji karyawan. Proyek yang melibatkan sekitar 2.500 karyawan tersebut dianggap sukses besar. Sekitar 86% tenaga kerja di Islandia kini bekerja dengan jam kerja yang lebih singkat, atau memiliki hak untuk mengurangi jam kerja mereka.

Berdasarkan contoh diatas terdapat dua perbedaan besar antara Islandia dengan Indonesia, Islandia berupaya menerapkan kebijakan untuk meningkatkan produktivitas pekerja dengan memberikan jam kerja yang lebih sedikit dalam kurun waktu satu minggu dengan mempertimbangkan hak asasi pekerja sedangkan Indonesia justru membuat kebijakan yang memporsir tenaga pekerja dengan membuat opsi 6 hari kerja dalam satu minggu untuk meningkatkan produktivitas. 

Padahal jika kita mengacu pada Konvenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR), Kovenan ini memerinci hak setiap orang atas kondisi kerja yang adil dan baik yaitu salah satu point diantaranya mengenai "Waktu istirahat, rekreasi dan pembatasan jam kerja yang wajar serta hari libur rutin berbayar, serta cuti berbayar untuk hari libur publik".

Dalam ketentuan yang mengatur terkait upah pekerja di dalam Perppu juga diatur demikian :

  • Pada pasal 88 huruf C menyebutkan bahwa Gubernur dapat menetapkan upah minimum Kabupaten/Kota
  • Sedangkan di dalam pasal 88 huruf D ayat 2 berisikan, Formula Penghitungan Upah mempertumbangkan variable pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu.
  • Dalam pasal 88F, berbunyi "Dalam keadaan tertentu pemerintah dapat menetapkan formula penghitungan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam pasal 88D ayat 2.
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline