Baru-baru ini, banyak siswa di berbagai daerah di Indonesia mengalami kekecewaan besar akibat kelalaian sekolah dalam menyelesaikan finalisasi Pangkalan Data Sekolah dan Siswa (PDSS). Kelalaian ini berakibat fatal: ratusan siswa terancam gagal mengikuti Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP), jalur masuk perguruan tinggi yang sangat diharapkan oleh mereka yang berprestasi selama masa sekolah.
Beberapa sekolah yang tersandung masalah ini, seperti SMKN 2 Solo, SMAN 1 Mempawah Hilir, SMAN 17 Makassar, hingga SMAN 4 Karawang, menunjukkan bahwa kasus ini bukan sekadar kesalahan individu, tetapi mengindikasikan masalah sistemik dalam pengelolaan data akademik di sekolah-sekolah Indonesia.
Kesalahan fatal dalam pengisian dan finalisasi PDSS seharusnya tidak terjadi, mengingat ini adalah tugas rutin yang setiap tahun dilakukan oleh pihak sekolah. Dengan teknologi yang semakin maju, keterlambatan atau kelalaian dalam pengisian data tidak bisa dianggap sebagai sebuah kekhilafan kecil. Ini adalah kelalaian institusional yang merugikan masa depan ratusan siswa.
Lebih ironis lagi, siswa yang menjadi korban justru tidak memiliki kendali terhadap sistem ini. Mereka hanya bisa berharap bahwa sekolah mereka mengurus administrasi dengan baik. Namun, akibat kelalaian segelintir pihak, harapan mereka untuk masuk perguruan tinggi jalur prestasi terancam sirna.
Yang lebih mengecewakan, respons dari pihak sekolah cenderung mengambang. Beberapa sekolah berdalih "tidak tahu" atau "salah memahami jadwal", sementara yang lain baru bertindak setelah siswa dan orang tua protes. Jika tidak ada desakan dari publik, kemungkinan besar kasus ini akan berlalu begitu saja tanpa ada pertanggungjawaban yang jelas.
Dalam dunia pendidikan, sekolah seharusnya menjadi pilar yang memastikan siswa mendapatkan haknya, bukan justru menjadi penghambat mereka. Seharusnya ada mekanisme pengawasan ketat dari dinas pendidikan atau pemerintah agar kelalaian seperti ini tidak terulang.
Bagi siswa yang terdampak, ini bukan hanya sekadar kehilangan satu jalur masuk kuliah. Ini adalah pukulan besar terhadap mental dan kepercayaan diri mereka. Setelah bertahun-tahun belajar keras demi nilai yang baik, mereka justru dikecewakan oleh sistem yang seharusnya mendukung mereka.
Lebih jauh, mereka yang berasal dari keluarga kurang mampu akan semakin dirugikan. SNBP adalah jalur masuk perguruan tinggi yang lebih murah dibandingkan tes mandiri atau jalur lainnya. Jika kesempatan ini hilang, banyak siswa yang mungkin tidak bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Kasus ini harus menjadi pelajaran besar bagi dunia pendidikan Indonesia. Pemerintah dan dinas pendidikan harus segera mengambil tindakan tegas, seperti:
1. Menerapkan sanksi administratif bagi sekolah yang lalai, termasuk evaluasi kinerja kepala sekolah dan tenaga administrasi terkait.
2. Memberikan solusi konkret bagi siswa yang terdampak, seperti memberikan jalur khusus atau kebijakan dispensasi agar mereka tetap bisa mendaftar SNBP.
3. Membuat sistem pengawasan yang lebih ketat terhadap pengisian PDSS, misalnya dengan notifikasi otomatis bagi sekolah yang belum menyelesaikan finalisasi.
4. Meningkatkan transparansi dan komunikasi antara sekolah, siswa, dan orang tua, agar kejadian seperti ini bisa diantisipasi lebih awal.