Lihat ke Halaman Asli

Menjadi Merdeka yang Sesungguhnya

Diperbarui: 17 Agustus 2017   13:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

"BAHWA sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan." Begitulah kutipan naskah pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

Sejak proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 silam, rakyat Indonesia menyatakan dirinya merdeka dari perhambaan penjajahan kolonial Belanda. Dan sejak itu pula rakyat Indonesia mencatatkan sejarahnya di dunia jika Indonesia merupakan negara yang berdaulat.

Rakyat Indonesia harus melakukan perjuangan fisik untuk mendapatkan kemerdekaan. Tentu hal tersebut cukup sulit ditengah gempuran penjajahan yang tidak rela jika daerah kekuasaannya lepas dari perhambaannya. Tapi itu tak jadi soal, sebab para pejuang kemerdekaan akan dikenang sepanjang masa oleh para cucu dan segenap warga bangsa yang kelak akan melanjutkan estafet kehidupan bernegaranya.

Hari ini, tanggal 17 Agustus 2017 sudah 72 tahun Indonesia merdeka. Usia yang boleh dibilang cukup dewasa untuk merajut cita-cita kemerdekaan yang dulu pernah diproklamasikan. Dimana kemajuan dalam berbangsa dan bernegara sebagai imbalan kemerdekaan sudah semestinya bisa dirasakan oleh setiap warga negara.

Pertanyaannya adalah, apakah rakyat Indonesia sudah merdeka yang sesungguhnya? Tentu jawabannya sangat sulit diungkapkan. Setelah sekian lama Indonesia merdeka, Indonesia masih darurat kemiskinan dan darurat-darurat yang lainnya.

Angka Kemiskinan yang berhasil dicatat oleh Badan Pusat Statistik (BPS) mencapai 28,01 juta jiwa atau sebesar 10,86 persen dari total jumlah penduduk Indonesia. Mengutip pernyataan Henry Saragih, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI), menyatakan bahwa indeks kedalaman kemiskinan dan indeks keparahan kemiskinan dearah perdesaan dalam satu tahun ini meningkat. (Baca: Data SPI pada 21 Juli 2016).

Kemiskinan masih menjadi momok bagi sebagian besar penduduk pedalaman perdesaan, yang itu artinya buah hasil kemerdekaan yang sudah 72 tahun diperoleh oleh rakyat Indonesia belum seluruhnya dirasakan oleh warga negara ini. Hal itu tidak bisa dipungkiri keberadaannya. Penduduk perdesaan yang secara garis besar adalah petani memang selalu dirugikan dan masih terjajah secara ekonomi.

BPS menyebutkan jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian terus menurun dari 39,22 juta pada 2013 menjadi 38,97 juta pada 2014. Yang hal tersebut ditanggapi dengan mirisnya regenerasi pertanian di Indonesia oleh salah satu ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri yang mengatakan jumlah petani turun lagi menjadi 37,75 juta pada 2015. Sementara usia rerata petani semakin tua. Generasi muda merosot minatnya menjadi petani. Lembaga pendidikan tinggi pertanian memperluas bidang studi ke nonpertanian. Sarjana sekolah pertanian semakin banyak yang bekerja di sektor nonpertanian. (Baca: Data BPS tentang Jumlah Pertanian menyusut, CNN Indonesia, 9 Februari 2016).

Bagi penulis, hal ini adalah masalah yang cukup serius dihadapi oleh Indonesia di masa mendatang. Dimana pertanian menjadi kunci arah kebijakan pangan yang dihadapi Indonesia dalam merajut cita-cita kemerdekaannya. Tanpa pertanian mungkin kita akan berpikir kembali bahwa apa yang akan kita konsumsi untuk terus bertahan hidup? Ini masih membahas tentang satu sub darurat saja. Tentu, sub-sub darurat yang lainnya tak kalah penting dari pada angka kemiskinan yang tadi sudah coba diuraikan.

Sejatinya menjadi merdeka yang sesungguhnya itu adalah dengan meratanya sistem keadilan yang itu bisa dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali. Kemiskinan yang masih terjadi di daerah pedalaman perdesaan yang kini masih banyak ditemui, itu pertanda jika esensi "Kemerdekaan" masih belum seutuhnya dirasakan.

 Oleh karenanya, itulah tugas utama pemerintah bersama-sama dengan para generasi bangsa untuk dapat keluar dari jeratan jajahan kemiskinan. Tentu itu tidak terjadi dengan tanpa usaha. Pastilah usahanya sama persis dengan para pejuang terdahulu, hanya saja bukan perlawanan fisik dengan penjajah, namun perlawanan fisik dengan Kapitalis tak ber-keadilan yang menggerus hak rakyat miskin.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline