Lihat ke Halaman Asli

Pemimpin dan Kedustaan

Diperbarui: 28 Februari 2017   22:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Ahmad Fairozi*

Ingkar terhadap janji-janji politik sudah menjadi hal yang seakan lumrah dipraktekkan. Tidak merasa jika pemimpin negeri ini berhutang janji kepada rakyatnya, bahwa dirinya telah mendzolimi rakyat yang telah memberikan mandat berupa kepercayaan kepada mereka selama ini. Terjadi secara sistematis, dari generasi ke generasi lainnya, berulang-ulang tanpa kejelasan yang pasti terhadap rakyat yang telah menaruh harapan besar bagi perubahan bangsa ini.

Tidak heran jika kemudian ungkapan Thomas Jefferson patut menjadi tamparan keras terhadap para pemimpin di negeri ini. “Jika syarat masuk surga itu harus masuk partai politik, saya lebih memilih tak mau menjadi anggota partai politik”. Ungkapan itu menunjukkan ketidakpercayaan mendalam terhadap elit politik yang notabene bertindak sebagai para pemimpin negeri ini.

Di Indonesia, praktek kedustaan seakan menjadi hal yang tidak aneh, karena dianggap sudah menjadi hal biasa, itulah yang terjadi di negeri kita ini. Praktek kotor untuk mendapatkan simpati rakyat dilakukan, maraknya politik uang, kebijakan tidak pro rakyat kecil dan penegakan hukum yang tidak adil telah meracuni para pemimpin bangsa ini. Korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dilakukan secara terang-terangan. Dampaknya, lagi-lagi rakyat menjadi korban atas menjamurnya kedustaan yang merajalela diseluruh penjuru negeri ini.

Citra negatif para pemimpin negeri ini menunjukkan arogansinya dengan berperilaku transaksi kepentingan pragmatis yang menyimpang. Selaras dengan ungkapan Sayidina Ali, “Sesungguhnya golongan elite ini adalah yang paling memberatkan wali negeri dalam masa kemakmuran, paling kecil memberikan bantuan saat terjadi musibah, paling tidak menyukai keadilan, paling banyak permintaannya secara terus-menerus, tetapi paling sedikit rasa terima kasihnya jika diberi, paling tidak siap menerima alasan jika ditolak, dan paling lemah kesabarannya jika berhadapan dengan berbagai bencana”.

Setidaknya, perilaku negatif tersebut harus dihindari dengan menjaga kepercayaan rakyatnya. Karena manusia merupakan makhluq mulia yang mempunyai akal. Meminjam ungkapan Aristoteles, yang membedakan manusia dengan binatang adalah kemampuan membedakan yang baik dan buruk, adil dan zalim, yang memperoleh puncak ekspresinya pada negara yang dapat membedakan kebaikan dengan keburukan.

Dengan demikian, sebagai pemimpin, semestinya menjadi arena pertukaran gagasan bijak, perjuangan aspirasi rakyat, akuntabilitas dan profesionalitas. Bukan sebaliknya, sebagai penghianat rakyat yang tidak bertanggung jawab dan lemah disaat berjuang menegakkan keadilan demi tegaknya kebenaran.

Potret perilaku kedustaan terhadap rakyat jangan diabaikan, kesewenang-wenangan akan menimbulkan kerugian besar bagi bangsa ini. Sejauh ini, kesibukan para pemimpin bukanlah menawarkan isi, melainkan kemasan. Bukanlah mendalami basis moral dan visi bangsa serta negara, melainkan sekadar memperhatikan hasil rekayasa survei.

Para pemimpin tidak diperuntukkan sebagai perwujudan dari aspirasi rakyat dan perjuangan bersama, melainkan sebagai alat mobilisasi terhadap kepentingan pribadi dan kelompok yang jauh dari kesejahteraan kolektif. Ujungnya, rakyatlah yang dirugikan, oleh karena arogansi pemimpin yang tidak mementingkan kepentingan rakyatnya, namun lebih pada kepentingan pragmatisnya. Kepercayaan rakyat terhadap para pemimpin negeri ini adalah bentuk pertaruhan keutuhan bangsa dan negara kedepan. Apabila pemimpin sudah tidak berjalan sesuai dengan tugas, pokok dan fungsinya, maka akan tinggal menunggu ketercerai beraian bangsa maupun negara ini.

Ada fakta menarik yang masih dilestarikan hingga kini. Di Indonesia, apabila pemimpin terindikasi melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), seakan angkuh dengan pendiriannya dan berakting tidak melakukannya dengan membuat kegaduhan, bahwa yang bersangkutan tidak melakukan hal tersebut. lebih parah lagi, sudah terbukti melakukan tindakan KKN pun terkadang enggan untuk mundur dari jabatannya sebagai pemimpin.

Sangat berbeda dengan kondisi para pemimpin di Jepang, apabila seorang pemimpin sudah terindikasi melakukan tindakan KKN, terlibat skandal, atau tidak mampu menangani persoalan, para pemimpin langsung mengundurkan diri dari jabatannya secara sukarela. Mengapa demikian? Karena sejatinya kepercayaan rakyat menjadi keistimewaan yang harus dijaga oleh para pemimpin negeri ini, agar rakyat tidak alergi dengan iklim demokrasi yang kita terapkan, dimana dalam demokrasi kekuasaan mutlak adalah milik rakyat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline