Lihat ke Halaman Asli

Fainal Wirawan

Dokter concern tentang masalah pencegahan penyakit menular melalui udara

Penerapan Informasi Teknologi Pada Sistem Jejaring Penanggulangan TB di Puskesmas

Diperbarui: 2 Mei 2017   12:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendahuluan

Sejak dicanangkan Gerakan Terpadu Nasional Penanggulangan TBC (GERDUNAS TBC) tahun 1999, sampai saat ini TB masih belum tertanggulangi dengan baik. Berdasarkan Global TB Report Estimates of TB Burden 2014, angka prevalensi 1.6 juta, insiden 1 juta dan angka kematian mencapai 100 ribu per tahun (274 orang perhari meninggal dunia). Indonesia menduduki peringkat kedua dunia dengan jumlah penderita TB terbanyak setelah India, Hal tersebut sangat ironis karena sudah banyak sumber daya yang dikeluarkan untuk menanggulangi TB dan sebenarnya TB dapat diobati maupun dicegah.

Seseorang menderita TB karena terpapar dari penderita TB aktif, faktor jarak, lamanya terpapar dan aliran pertukaran udara berpengaruh secara signifkan terhadap penularan. Tempat kejadian dapat di rumah, tetangga, pemondokan, lembaga pemasyarakatan, angkutan umum, tempat kerja, lingkuan kumuh padat hunian.

Pada umumnya fasilitas pelayanan kesehatan yang ada mampu menangani pasien TB, kecuali pasien dengan komplikasi atau TB ekstra paru (contoh TB pada tulang), yang membutuhkan penanganan spesialistik di rumah sakit. Diagnosa TB paru ditegakkan melalui pemeriksaan dahak secara mikroskopis di laboratorium, sedangkan obat TB dalam bentuk paket disediakan gratis oleh pemerintah.

Pengobatan TB membutuhkan waktu 6 bulan, pasien harus patuh konsumsi obat setiap hari tanpa putus. Pasien yang tidak patuh atau putus berobat bukan saja dapat menularkan ke orang lain (10-15 orang pertahun), tetapi juga menyebabkan kuman TB menjadi kebal terhadap obat yang digunakan, sehingga untuk menyembuhkannya dibutuhkan jenis obat yang lebih keras, jumlah yang lebih banyak, waktu yang lebih lama (sampai 2 tahun)  dan efek samping obat yang lebih banyak pula.

Berdasarkan data  yang ada, kasus TB yang tidak berobat secara penuh dan hilang (missing cases) mencapai sekitar 68% dari total kasus. Oleh karena itu, dibutuhkan sistem jejaring penatalaksanaan pasien TB yang terhubung dengan komunitas peduli TB di masyarakat, untuk meminimalkan terjadinya kasus yang hilang maupun  putus berobat (dropout).

Sistem Jejaring penanggulangan TB

Ada 2 sistem jejaring yang perlu dibangun yaitu: (1) sistem jejaring upaya kesehatan perorangan (UKP) bagi kuratif dan rehabilitatif, yang menghubungkan semua fasilitas pelayanan kesehatan, diperuntukan bagi pengiriman pasien, spesimen, pengambilan obat, pemeriksaan penunjang diagnostik. (2) Sistem jejaring upaya kesehatan masyarakat (UKM) bagi promotif dan preventif, diperuntukan bagi peran serta komunitas dimasyarakat, sebagai pengawas minum obat, investigasi kontak serumah, pelacakan kasus putus berobat, promosi hidup sehat dengan lingkungan yang sehat.

Sistem jejaring TB di Puskesmas

Sistem jejaring dapat dibangun dan dikelola di tingkat puskesmas kecamatan, merujuk pada kebijakan Kementerian Kesehatan tentang Puskesmas, yang menjalankan fungsi sebagai koordinator semua fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama diwilayah kerjanya, dengan memanfaatkan teknologi tepat guna untuk mengintegrasikan dan mengkoordinasikan UKP UKM lintas program dan lintas sektor, didukung oleh sistem rujukan manajemen puskesmas.

Membangun sistem jejaring membutuhkan komitmen dari para pemangku kepentingan, khususnya dalam partisipasi aktif menerapkan standar prosedur operasional yang dibangun bersama, sehingga sistem berjalan dengan baik. Pengelolaan sistem jejaring harus disertai dengan supervisi, bimbingan, monitoring dan evaluasi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline