Masih dalam ingatan penulis saat mengikuti perayaan TBC sedunia beberapa tahun lalu, seorang pejabat tinggi negara bercerita tentang cucunya yang terinfeksi TBC, hal tersebut telah mengusik penulis untuk menuangkan logika berpikir mengapa hal tersebut dapat terjadi, dan bagaimana menyelesaikannya.
Penanggulangan Tubekulosis (TBC) di Indonesia belum optimal, berdasarkan laporan tahunan Badan Kesehatan Dunia (WHO) 2018, diprakirakan terdapaat 842.000 orang terinfeksi TBC baru, ada 289 orang meninggal dunia setiap harinya dan Indonesia berada pada posisi ketiga dengan jumlah kasus terbanyak didunia setelah India dan Cina.
Masih berdasarkan data, sampai dengan akhir 2018, ada 53% (446.000) kasus yang tercatat, mendapatkan pengobatan dengan Obat Anti Tubekulosis (OAT), sisa 47% (396.000) tidak tercatat. Berbanding dengan 264 juta jiwa penduduk Indonesia, berarti sekitar 2 – 3 orang terinfeksi TBC baru di setiap pemukiman warga.
Menelaah masalah diatas, kita diingatkan pada gambaran penyakit yang menyebabkan batuk berkepanjangan, hingga menyebabkan batuk darah dan meninggal dunia. Tidak bisa dipungkiri, banyak orang menganggap TBC bisa menyebabkan seseorang terpaksa kehilangan mata pencarian hidup, akibatnya penderita TBC mengalami stigma.
Padahal penyakit ini bisa dicegah, bahkan bisa diobati sampai sembuh tuntas. Informasi yang tepat tentang pencegahan dan pengobatan perlu disosialisasikan lebih luas di kalangan masyarakat, terutama proses pengobatan dengan OAT yang membutuhkan kepatuhan minum obat, karena proses pengobatan yang tidak tuntas sesuai ketentuan terapi, akan menyebabkan kuman dalam tubuh penderita resistan terhadap OAT.
Status kesehatan menjadi semakin parah hingga menyebabkan kematian. Kasus resistensi terhadap OAT (dikenal dengan TBC Resisten Obat atau TB RO) kini jumlahnya kian meningkat, prakiraan terdapat 23.000 penderita. Mengatasi TB RO diperlukan paket obat yang lebih kuat, jenis dan jumlah obat lebih banyak; harga obat yang sangat mahal; durasi pengobatan lebih lama; dengan efek samping obat lebih berat.
Apa yang bisa dilakukan?
Bakteri penyebab TBC yaitu Mycobacterium tuberculosis ditularkan melalui udara dari seorang penderita kepada orang lain pada saat batuk, bersin, bahkan ketika tertawa atau berbicara keras dalam jarak dekat, percikan dahak terhirup ke hidung atau mulut orang lain.
Mekanisme penularan ini disebut dengan istilah droplet nuclei, sedangkan kategori penyakit yang ditularkan melalui jalur udara seperti TBC dikenal dengan istilah airborne transmitted disease.
Dengan mekanisme penularan seperti ini, TBC sangat mudah ditularkan dari si sakit ke orang-orang yang rentan disekitarnya. Penularan lebih mudah terjadi di kalangan keluarga terdekat atau serumah, di lingkungan tertutup dengan sirkulasi udara yang tidak bebas, bahkan di tempat-tempat umum yang padat.
Para ahli menyebutkan bila seorang penderita TBC ditemukan, maka hal ini dapat mencegah penularan baru terhadap 10–15 orang lain dalam setahun. Mekanisme penularan TBC lebih mudah, bisa dimana saja kapan saja, dan tidak terlacak keberadaan penderitanya. Berbeda dengan HIV AIDS, yang ditularkan melalui hubungan seksual; jarum suntik atau transfusi darah.
Sebelumnya disebutkan bahwa hanya sekitar 53% kasus tercatat, bagi kasus yang tidak tercatat tentunya tidak diketahui keberadaan dan keadaannya (sembuh, belum sembuh atau jadi TBC resistan obat). Bisa dibayangkan betapa berbahaya potensi penularan baru dalam satu tahun saja!