Mudik merupakan salah satu budaya Indonesia yaitu ketika orang-orang yang bekerja atau menempuh pendidikan di kota basar pulang ke kampung halaman untuk merayakan hati raya, khususnya Idul Fitri. Mudik menjadi momen untuk berkumpul bersama keluarga besar, mempererat tali persaudaraan, dan menjalin silaturrahmi.
Di moment yang searusnya hangat dengan komunikasi antar anggota keluarga tidak jarang terjadi ketegangan yang tidak ditampakkan secara langsung. Ketegangan atau perang dingin saat bersama keluarga bisa berupa ketidaknyamanan dalam berkomunikasi. Ketidak nyamanan dalam berkomunikasi menyebabkan adanya kesulitan untuk berbincang secara terbuka dan jujur tentang perasaan mereka. Ini juga mengakibatkan ketidak hadiran emosinal dalam keluarga meskipun secara fisik mereka sedang bersama-sama.
Salah satu faktor penyebab dari perang dingin mudik adalah adanya perbedaan ekspektasi antara generasi tua dan generasi muda. Generasi tua mungkin mengharapkan mudik sebagai moment berkumpul bersama keluarga untuk menghabiskan waktu bersama atau menjalankan tradisi keluarga, saling berkunjung ke rumah sanak saudara misalnya. Berbeda dengan generasi muda yang beberapa diantara mereka meliat mudik sebaagai moment untuk untuk bersantai, berlibur, atau sekedar menikmati waktu luang.
Gaya hidup dan kebiasaan yang berbeda juga dapat menjadi pemicu yang menyebabkan perang dingin antara generasi tua dengan generasi muda atau orang tua dengan anak. Anak-anak muda yang terbiasa dengan teknologi dapat merasa dibatasi oleh interaki interpersonal dalam momen-momen keluarga. Sementara orang tua yang kesulita memahami perubahan ini akan menganggap bahwa anak muda terlalu banyak bermain dan membuang waktu dengan gadget yang merupakan bagian dari perkembangan teknologi.
Selain itu, perbedaan intelektualitas antar generasi turut menjadi faktor pemicu perang dingin saat berkumpul dengan keluarga di momentum mudik. Misalnya, orang tua konservatif dalam penafsiran terhadapa agama atau nilai-nilai tradisional sedangakan generasi muda cenderung lebih terbuka terhadapa pemikiran baru dan pandangan yang lebih liberal.
Dalam situasi seperti ini, generasi muda berpotensi merasa dibebani dan dikekang oleh arapan orang tua, sedangkan orang tua cenderung memiliki perasaan kecewa dan bertany-tanya kenapa anak-anak mereka tidak mengikuti nilai dan tradisi keluarga.
Namun, inti dari permasalah perang dingin ini sebenarnya adalah kurangnya komunikasi yang efektif antar anggota keluarga. Kurangnya kuantitas dan kualitas perbincangan yang terbuka tentang perasaan, harapan, dan kebutuan masing-masing pihak dapat memperumit situasi dan memperparah konflik yang terjadi. Misunderstanding dan asumsi-asumsi tyang muncul namun tidak terucap dapat menambah ketegangan yang tidak diperlukan.
Maka dari itu ada beberapa hal perlu dilakukan untuk mencegah atau meminimaalsir perang dingin yang terjadi saat mudik berlangsung. Pertama yaitu membaangun komunikasi jauh-jauh hari. Berbagi kabar dengan orng tua dapat menjadi sarana untuk menyelaraskan pandangan dan mengurangi ketegangan yang berpotensi terjadi.
Kedua, penting untuk membuka hati dan fikiran untuk saling memahami. Orang tua dan generasi muda perlu bersedia untuk mendengarkan dan memahami perspektif satu sama lain, meskipun perbedaan pendapat mungkin timbul. Dengan saling menghormati dan memahami sudut pandang masing-masing, suasana mudik dapat menjadi lebih harmonis.
Ketiga, menciptakan kegiatan yang dapat dinikmati dan disukai oleh semua generasi, seperti bernyanyi bersama atau membuat konten dokumentasi keluarga. Dengan ini momen mudik dapat menjadi lebih berkesan dan menyenangkan bagi semua orang.