Lihat ke Halaman Asli

Faidi AR

Adalah makhluk yang terlahir dari ujung timur pulau garam Madura.

Ayah dan Sepatu yang Tak Terbeli

Diperbarui: 12 Juli 2022   10:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Jam empat dini hari, suara ayam jantan terdengar samar dari kejauhan. Seperti melantunkan gema takbir ke seluruh alam. Dentingan jatuhnya embun dari pinggiran genteng rumah seperti mewekeri waktu malam yang mulai beranjak fajar. Sebentar lagi adzan subuh segera dikumandangkan dimasjid sebelah yang berjarak seratus meter dari rumah. Pak tarun membangunkan anaknya yang masih terlelap itu. Mengajaknya solat berjamaah di masjid. Sedangkan Maryani istrinya pak Tarun, hanya bisa solat di rumah saja, diatas kursi roda. Kakinya lumpuh sebab celakaan yang terjadi beberapa tahun yang lalu.

Adzan pun dikumandangkan. Pak Tarun berangkat ke masjid yang tak jauh dari rumah bersama anaknya itu, yang sebentar lagi mau lulus dari kelas tiga SMP. Arul namanya.

Semburat cahaya matahari sudah mulai menampakkan diri dari timur. Meskipun persawahan yang terletak di perbatasan kota Jogja sedikit, tidak sampai hektaran, udara pagi masih segar untuk dihirup. Pak Tarun yang kerjanya serabutan, yaitu mengumpulkan sampah-sampah yang ada di setiap rumah-rumah. Pak Tarunlah yang tiap harinya ngangkut sampah-sampah itu dengan gerobak besar seperti bak pick up yang ia tarik tiap harinya, hanya untuk biaya hidup keluargnya terutama menyekolahkan anaknya, Arul.

Jam 04.50. sebelum berangkat, pak Tarun menikmati teh hangat buatan Maryani.

"Pak..." panggil Maryani sembari menatap lantai rumah. Bengong.

"Ya, buk, bagaimana?" jawab pak Tarun sembari meletakkan teh hangatnya. "loh, kok malah diem, Buk, ada apa?

"Sepatu Arul sudah rusak, Pak. Sudah tiga tahun ini nggak diganti-ganti. Dan, dia sudah mau lulus SMP lo, Pak. Bapak kapan mau belikan Arul Sepatu baru?"

"Emm..." Pak Tarun mulai mikir sejenak. Pikirannya menjalar kemana-mana, sembari kedua tangannya mengusap-usap kedua pahanya itu. "Tenang, nanti Bapak pasti belikan, Buk. Dari kemaren-kemaren uangnya habis buat bayar hutang ke haji Samsul tetangga sebelah itu. Dan juga, habis karena buat sehari-hari kita to," jawabnya agak santai. Sesekali tangan kirinya merangkul tangan kanan kiri istrinya. Dan kemudian tersenyum datar. Sedangkan Arul yang ada di kamarnya, sedikit mendengar percakapan Ibu-Bapaknya di luar. Yang hanya terpisah dengan kamar Ibunya antara kamar Arul dan tempat perbincangan mereka berdua. Padahal, di setiap gajian, pak Tarun selalu menyisihkan uangnya hanya untuk membelikan sepatu Arul, dan akan dikasihkan dihari kelulusanya nanti.

"Ya sudah, Buk, Bapak berangkat dulu." Pak Tarun pun beranjak dari tempat duduknya, dan kemudian menghampiri Arul yang ada dikamarnya.

"Rul, Bapak berangkat dulu ya. Belajarlah dengan baik. Jadilah orang-orang yang sukses. jangan malas belajar. Jangan jadi seperti Bapak ya." Arul hanya manggut-manggut. Kemudian Pak Tarun pergi mengambil sampah-sampah yang ada di tiap-tiap rumah, tubuhnya hilang dari bibir pintu kamar Arul.

Pernah sekali pak Tarun marah kepada Arul, dengan kemarahan itulah penyakit jantungnya kumat lagi . Sebab Arul mau berhenti sekolah. Karena ia tahu, Bapaknya cuma bekerja memungut sampah di tiap-tiap rumah tetangga. Dan ibunya, yang hanya duduk di kursi sebab lumpuh yang dialaminya. Saat itu, Haji Samsul datang ke rumahnya untuk menagih hutang yang sudah satu tahun belum lunas. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline