Pernahkah Anda membeli dan memakan ayam goreng tepung? Ataukah lebih sering mendengar, membaca, menyebut, dan melihat tulisan di gerobak pedagang dengan nama 'fried chicken'? Pernahkah Anda ke restoran dan dalam daftar menu tertulis cheese burger, vegetarian curry, curry beef, spicy chicken, ice tea, mineral water, dan sejenisnya? Kemudian, ketika pesanan sudah datang, Anda bereaksi 'oh ternyata yang ini, lho'. Pernahkah Anda membaca buku fiksi dengan nama tokoh yang kebaratan sekali, padahal tokoh tersebut diceritakan 100% pribumi Indonesia pun latarnya di Indonesia---lahir di Bogor misalnya? Anda lalu bereaksi 'kok bisa?' seraya mengernyitkan dahi, pernahkah begitu?
Mungkin di antara saya dan Anda tidak asing dengan satu, dua, atau bahkan semua kejadian yang saya sebutkan di atas karena terjadi di sekitar kita atau bahkan kita alami sendiri. Fenomena tersebut merupakan praktik indonenglish atau englonesian yang kini makin marak terjadi di tengah masyarakat kita. Yang kemudian menjadi pertanyaan adalah apakah tidak mengapa bila kita menganggap hal tersebut biasa saja atau malah ada keganjilan?
Baik, sebelum melangkah lebih jauh lagi, saya akan menarik mundur bagaimana tanya tersebut bermula. Hadirnya pertanyaan dan tulisan ini berawal dari pembacaan saya terhadap esai 'Sensasi Indonenglish Vs Pemajuan Kebudayaan' karya Bapak Bernando J Sujibto yang dimuat dalam rubrik Opini Media Indonesia. Esai tersebut membahas tentang fenomena indonenglish yang makin merebak sekaligus kaitannya dengan captive mind pascakolonialisme.
Melalui esai tersebut, penulis yang dalam bionya mencantumkan identitas sebagai pembaca sastra dan penikmat bahasa Indonesia mengungkapkan kekhawatiran dan perhatiannya terhadap nasib bahasa Indonesia. Tidak berhenti sampai di situ, bahasan esai tersebut---sebagaimana judulnya---berlanjut menyinggung program Merdeka Belajar yang berpotensi memiliki arah untuk pemajuan kebudayaan.
Bilamana ditanya apakah esai tersebut menarik atau tidak, ataukah apa yang tidak menarik dalam esai tersebut, menurut saya esai tersebut menarik, dan bahkan saya kesulitan untuk mencari apa yang tidak menarik. Mengapa demikian? Pertama karena dari topik yang dibahas, menurut saya sudah menarik, yakni terkait tentang bahasa, tetapi tentu saja tidak semua orang tertarik dengan topik tersebut. Kedua, yang menarik adalah dikaitkannya praktik indonenglish dengan captive mind.
Membicarakan tentang bahasa, menurut antropolog Clyde Kluckhohn bahasa merupakan salah satu unsur budaya. Pada pertemuan pertama kelas Teori Sosiologi Modern, waktu itu sedang sesi perkenalan dengan menyebutkan nama dan kota asal, Pak Bje---penulis esai yang saya review ini sekaligus beliau merupakan dosen saya---menyinggung hubungan antara nama dengan culture. Beliau menuturkan bahwa culture atau budaya bisa dirusak semudah melalui nama. Kenapa demikian? Karena menghapus ingatan suatu bangsa paling mudah dengan menghilangkan simbol-simbol budaya, termasuk di dalamnya nama. Dari penuturan beliau, saya mengintisarikan bahwa nama bisa mengidentitaskan asal seseorang, dari latar belakang budaya manakah orang tersebut.
Terkait penggunaan nama, saya memiliki pengalaman menemui kejanggalan nama dalam cerita-cerita fiksi di platform kepenulisan online berwarna jingga, tepatnya saya aktif di tahun 2019-2023 awal. Platform menulis tersebut memang terkenal sebagai aplikasi yang ramah terhadap penulis-penulis perintis baru untuk berekspresi. Nah, yang membuat saya heran adalah cerita-cerita populer atau yang naik daun (biasanya bergenre teenfiction/remaja) menggunakan nama-nama asing barat yang menurut saya itu tidak sesuai konteks. Tokohnya lahir di Indonesia, keturunan Indonesia, latarnya di Indonesia, tetapi namanya itu malah nama Eropa. Memang ada tokoh yang blasteran, tetapi tidak semua begitu. Sebenarnya saya tidak sepenuhnya membaca cerita-cerita itu dikarenakan tidak selaras dengan minat saya, jadi saya mengetahui hal tersebut lewat blurb atau membuka-buka cerita secara acak (mengeksplorasi terlebih dahulu)---mohon maaf, kepada para penulis yang karyanya tidak sepenuhnya saya baca, tetapi dikritisi seperti ini, bukannya mengecilkan hati, tetapi di sini saya sedang mengutarakan apa yang berenang-renang dalam pikiran saya selama ini. Mungkin praktik ini bukan praktik indonenglish, tetapi yang menjadi titik fokus adalah entah kenapa semua menjadi dibumbui barat, sesederhana nama. Mungkinkah kedepannya nama-nama orang di dunia nyata, nama-nama kita sebagai orang Indonesia dan Asia ini tidak ada beda dengan nama orang Eropa?
Saya melihat bahwa indonenglish yang dituturkan dalam esai Pak Bje merupakan produk nyata dari captive mind, ternyata tidak sesederhana itu. Captive mind atau pikiran yang jumud menempatkan kita sebagai masyarakat bekas koloni dalam problem inferioritas, termasuk dalam aspek budaya yang apabila dibedah lagi ada bahasa. Saya sependapat dengan hal tersebut, apalagi sudah terjadi di negara tetangga yang kehilangan bahasa nasionalnya. Kemudian, fenomena indonenglish semakin lancar bergerak, mewabah, merajalela didukung oleh faktor kemudahan akses informasi. Informasi yang dimaksud bisa berupa dari tontonan, entah itu dari televisi, reels IG, video Tiktok, YouTube, aplikasi menonton, maupun dari bacaan yang dikonsumsi oleh masyarakat secara terus menerus sehingga baik sadar maupun tidak sadar menjadi terinternalisasi. Mungkin awalnya kita terpengaruh atau terpapar langsung dari luar (dari Barat) karena globalisasi yang menghilangkan batas-batas teritorial antarbenua, antarnegara, tetapi kemudian bagian dari masyarakat kitalah yang turut mempengaruhi masyarakat kita sendiri, menyebarkan, membuat wabah indonenglish ini makin menjangkit.
Melihat semua itu, pandangan saya menjadi terbuka bahwa kita bukan hanya sedang menghadapi masalah terkait bahasa daerah yang kini makin asing, tetapi juga bahasa nasional memiliki kerentanan. Sebenarnya bahasa Inggris itu tidak salah, apalagi mengingat bahasa Inggris itu pula yang menjadi bahasa Internasional. Banyak hal positif yang bisa kita dapat dari bisa berbahasa Inggris, seperti referensi belajar lebih luas dari buku-buku berbahasa Inggris, salah satu syarat beasiswa di luar negeri, dan sebagainya. Untuk bisa berbahasa Inggris dengan fasih pun salah satunya didapat dari kebiasaan mempraktikkan, tetapi bukan berarti kita bisa bebas ber-indoenglish, mungkin kadarnya lebih bisa diukur lagi, tidak benar-benar dicampur padukan, mungkin bisa dilatih satu atau dua kalimat penuh berbahasa Inggris, baru berganti bahasa Indonesia. Bagaimanapun, rasanya juga lucu bila dalam satu kalimat berpadu seperti es campur, sebagaimana cuplikan dalam esai Pak Bje yang mengundang gelak saya: Jika yang terakhir terjadi, entah sadar, entah tidak, kita hanya menunggu waktu untuk bersama-sama mengubur bahasa Indonesia karena pada masa depan kita akan bercakap tentang hidup 'which is literally santai, but somehow interesting untuk hunting cuan'. Ketika membaca kalimat tersebut saya merasa menemukan oase komedi di tengah-tengah pembahasan esai yang serius. Kembali lagi, sebenarnya yang disoroti di sini, dalam fenomena indonenglish (bagi saya) adalah bagaimana kita bisa tetap awas, waspada, jangan sampai benar-benar kehilangan jati diri kita, bahasa kita.
Kemudian, meninjau aspek penyajian, secara garis besar, pembawaan esai 'Sensasi Indonenglish Vs Pemajuan Kebudayaan' sudah mengalir, saya suka bagaimana penulis menyajikan alur esai dengan lihai dan koheren. Selain itu, saya mengapresiasi esai tersebut mengangkat topik pembahasan yang biasanya luput dari perhatian. Sebagaimana yang disampaikan dalam kalimat pertama bahwa penulis tersentak dengan situasi ironis terkait bahasa Indonesia dari kelakar Saut Situmorang. Hal ini unik karena tidak semua orang dapat terkoneksi dan terilhami insight untuk membawa candaan menjadi bahasan esai. Tak lupa, penulis bukan hanya mengkritisi indonenglish, tetapi juga menawarkan solusi, yaitu lewat peran pemerintah dan kurikulum pendidikan beserta programnya.