Oleh: Faidatul Hikmah
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung
Problematika Laten: Anak menjadi Pelaku dan Korban Kekerasan
Penegakan hukum pidana merupakan syarat mutlak yang harus dijalankan secara kompeten dan konsekuen bagi setiap negara hukum. Pemikir begawan Inggris, A.V. Dicey sejak era 1950-an telah menteoritisasi bahwa salah satu ciri utama bagi negara hukum (rule of law) adalah prinsip perlindungan dan penghargaan atas hak asasi manusia. Untuk itu, hukum pidana, yang dalam pengertian teleologisnya merupakan instrumen hukum dalam perlindungan jiwa, raga, harta, dan kehormatan setiap individu, menjadi unsur tidak terpisahkan dalam kehidupan berbangsa. Terlebih, secara deklaratoir, founding fathers bangsa Indonesia telah mendeterminasikan dirinya dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 bahwa "...Indonesia adalah negara hukum".
Dewasa ini, sorotan hukum terhadap kasus perundungan anak seolah tidak ada habisnya dalam pemberitaan media di tanah air. Problematika laten yang mengakar kuat sebagai suatu 'kultur negatif' dalam masyarakat dewasa ini, telah kerap kali mencapai batas-batas diluar kewajaran. Perundungan, atau yang akrab dilatahkan sebagai 'bullying' terus menghantui anak-anak, terutama terjadi di lingkungan instansi pendidikan, tempat yang seharusnya aman, nyaman, dan terjaga. Bahkan, dalam beberapa ekstrem, telah menimbulkan jatuhnya korban jiwa.
Sejak 2020, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat adanya tren kenaikan kasus perundungan terhadap anak dari tahun-tahun sebelumnya. Hingga semester kedua tahun 2020, terdapat pelaporan kasus perundungan sebanyak 119 kasus. Sementara, kasus yang tidak dilaporkan dipastikan jumlahnya jauh lebih banyak lagi. Ibarat fenomena gunung es, 119 kasus hanyalah suatu 'permukaan' yang muncul, sementara jauh lebih banyak kasus berada di bawah lintasan permukaan dan tidak terdeteksi.
Terakhir, kasus perundungan yang parah, dan sekaligus menandai pentingnya reformulasi kebijakan, adalah kasus yang menimpa F (11), seorang bocah siswa SD di Tasikmalaya yang harus meregang nyawa akibat depresi berat pasca dirundung oleh 15 teman sekolahnya untuk menyetubuhi seekor kucing dan menyebarkan rekaman di media sosial.
Kasus perundungan yang berakibat fatal bukan pertama kalinya terjadi. Pada Januari lalu, seorang siswa SMP di Banyuwangi harus menjalani operasi pemotongan tulang paha 4 cm pasca di-bully dan dianiaya teman sekolahnya. Sementara pada Februari, siswa di SMA Negeri 3 Unggulan Palopo, harus mendapat perawatan medis pasca disekap, dipukuli, dan dianiaya 5 pelaku yang juga teman sekolahnya. Di lingkungan perguruan tinggi, mahasiswi Universitas Muslim Indonesia (UMI) meninggal dunia dalam pengkaderan senat yang diadakan oleh senior korban. Kasus serupa juga sempat terjadi di berbagai kampus sebelumnya, dan menjadi preseden negatif dalam praktik 'pelatihan' di lingkungan kampus.
Maraknya kasus perundungan, penganiayaan, hingga pelecehan yang terjadi di instansi pendidikan, terutama SD dan SMP patut menjadi salah satu pusat perhatian bersama dan memerlukan penyelesaian segera. Problematika laten yang terus menimbulkan korban setiap tahun, harus diselesaikan melalui rekayasa kebijakan, termasuk reformulasi kebijakan hukum acara pidana. Lantas dengan permasalahan tersebut, penulis ingin mengkaji kompleksitas urgensi penguatan upaya diversi dalam perkara pidana peradilan anak di Indonesia, sehingga dalam hal ini akan menjawab apakah seyogynya perlu reformulasi kebijakan hukum acara pidana dalam perkara pidana anak di Indonesia.
Perlindungan Hukum Terhadap Anak
Perlindungan hukum merupakan perbuatan atau upaya dalam melindungi seluruh masyarakat dari perilaku seorang yang dapat merugikan kepentingan hukumnya, guna menciptakan ketentraman dan ketertiban umum selama menjalani kehidupan. Perlindungan hukum diberikan kepada setiap subjek hukum, meliputi naturalpersoon (manusia), maupun rechtpersoon (badan hukum) terhadap hak dan kewajiban. Dalam hukum pidana, perlindungan ini diberikan untuk memberi jaminan keamanan atas hak hidup (nyawa), tubuh, harta dan benda, harga diri dan nama baik, serta kepentingan hukum atas rasa susila dan kehormatan. Instrumentasi hukum pidana yang dilengkapi dengan sanksi dan mengikat bagi semua subjek hukum, tidak lain adalah dalam upaya memberi jaminan terpenuhinya unsur-unsur perlindungan tersebut diatas.