Pada tahun 1920 hingga tahun 1940-an pengaruh sastra khususnya di Indonesia sangatlah kental dan identik dengan suatu hal yang disebut sebagai "kawin paksa."
Di zaman sekarang yang kita sebut modern, dimana-mana serba canggih, nampaknya orang tua tidak lagi menyuruh kawin paksa terhadap anaknya, sebab tanpa disuruh pun akan kawin dengan sendirinya.
Inilah apa yang disebut perubahan zaman. Anak-anak muda yang gemar memproduksi cairan semen dan wanita-wanita yang lugu dan mau saja menuruti kehendak laki-laki, wanita itu bak kucing anggora yang berjalan di catwork.
Perbedaan ini terjadi lantaran dipengaruhi oleh faktor pendidikan, globalisasi, dan juga tingkat nafsu birahi. Maka kemudian dengan ketiga landasan tersebutlah anak muda sekarang beralasan melakukan budaya tersebut.
Memang di Barat misalnya Amerika, hal tersebut sangatlah wajar, karena disana memiliki episteme budaya yang berbeda dengan kita, kita yang memang iklimnya feodal, nampaknya susah setengah mati untuk mengubah kedalam tatanan demokrasi murni.
Maka, saat inilah kita merdeka, saat inilah kita berhak dan bebas untuk menentukan apa yang kita inginkan yang satu paket dengan akibatnya. Kita tahu A, dan kita juga tahu akibat yang ditimbulkan dari A tersebut. Itulah ciri-ciri orang bijak. Kendatipun tak terlampau bijak, namun setidaknya ada unsur bijaknya walaupun seberat biji zarrah.
Maka, abad sekarang merupakan abad pembebasan. Kita berhak melakukan apa yang kita mau. Kalau Anda sekidit membaca teologi St. Thomas Aquinas, maka ia mengatakan bahwa, seks adalah alamiah, ia layaknya makan dan minum yang mana dua hal tesebut merupakan the basic necessity atau jika diterjemahkan kurang lebih adalah hal yang mendasar dalam hidup kita. Sehingga bagi mereka yang senantiasa menolaknya dengan apologi puritanisme, ia akan sakit kepala karena melawan fitrahnya sendiri.
Sekarang ini kita tidak perlu lagi untuk menghitung berapa banyak pahala dan dosa, sebab hal tersebut sudah dihitung dan dikalkulasi oleh Badan Pusat Statistik yang transenden. Maka hendaknya kita membumi saja. Tidak perlu kita mengawang-awang berbicara hal yang sebenarnya tidak memiliki efek baik untuk diri kita sendiri.
Perempuan yang hebat adalah perempuan yang praksisnya ditentukan oleh dirinya sendiri dan bukan karena pressure atau tekanan yang berasal dari luar. Namun di negara +62 ini, sebagian perempuan terlampau lemah, terlalu romantik, lebay, dan pesimis. Dengan modal menangis, mereka akan mendapatkan apa yang mereka mau.
Fahrul Rozi,