Hari Air se-Dunia (World Day for Water) yang diperingati setiap tanggal 22 Maret mulai dikenal setelah dicetuskan pada Sidang Umum PBB ke-47 tanggal 22 Desember 1992 di Rio de Janeiro, Brasil.
Khusus pada tahun 2019 ini, tema yang diangkat adalah "Leaving No One Behind" atau bila ditranformasikan dalam bahasa kita kurang lebih menjadi: "Mewujudkan Akses Air yang Paripurna".
Tafsiran dari tema tersebut kiranya adalah menggambarkan keinginan masyarakat global untuk menjaga ketersediaan air bagi seluruh makhluk hidup.
Tingginya curah hujan yang berdampak pada melimpah ruahnya ketersediaan air di musim-musim tertentu biasanya akan menimbulkan masalah ketika musim kemarau.
Hal ini diantaranya disebabkan oleh rendahnya kemampuan tanah untuk menyerap air permukaan sebagai dampak dari berkurangnya vegetasi hutan di wilayah-wilayah padat penduduk.
Catatan sejarah negeri-negeri nusantara menggambarkan bahwa akses terhadap layanan air yang berkualitas itu tidak selalu merata atau yang dalam istilah birokrasi sekarang disebut paripurna.
Diantaranya digambarkan oleh keadaan masyarakat disekitar Keraton Surosowan, Banten, pada awal abad ke-18 silam. Ketika itu keluarga keraton mendapatkan suplai air bersih dari hasil penyaringan air Danau Tasik Ardi, sedangkan masyarakat diluar keraton terpaksa cukup puas dengan menggunakan air sumur.
Tak terkecuali di Banten, masyarakat yang hidup di pusat pemerintahan Kesultanan Aceh pun bernasib sama ketika itu. Ketika warga Dalam Keraton Darud Dunya menikmati segarnya air bersih dari aliran sungai buatan Krueng Daroy, masyarakat disekitarnya harus bergantung pada air sumur yang dangkal namun terasa agak asin bila musim kemarau tiba.
Mungkin kondisi saat itu adalah lumrah saja mengkonsumsi air sumur yang rentan terkontaminasi bakteri berbahaya bagi kesehatan. Tapi berkaca pada bukti sejarah tentang bagaimana tragisnya akhir hayat Sultan Mahmudsyah yang mangkat pada tahun 1874, pahlawan rakyat Aceh itu terpaksa menyerah pada penyakit kolera yang dideritanya. Padahal sang Sultan baru saja memenangkan peperangan melawan invasi Belanda dengan hasil yang tak tangung-tanggung, yaitu tewasnya Mayor Jenderal Kohler, sang panglima ekspedisi tentara KNIL itu.
Mangkatnya Sultan Mahmudsyah tercatat pada tanggal 20an Januari ketika beliau menempati bivak diluar keraton bersama para prajurit setia yang mendampinginya. Tampaknya metabolisme tubuh sang Sultan belum adaptif dengan air minum di luar keraton, kontan saja kuman penyakit yang mendiami air minum tersebut menjadi sebab dirinya terjangkiti sakit perut parah yang berujung pada kematian.
Warisan pengelolaan air untuk kepentingan umum dari para Sultan terdahulu untuk masyarakat Aceh hingga saat ini adalah institusi Keujruen Blang. Walaupun sekarang telah ada dinas pengairan yang bertugas memastikan ketersediaan air bagi pertanian melalui sistem irigasi, Keujruen Blang sebagai lembaga adat masih berperan penting dalam pembagian jatah air bagi pertanian modern hingga sekarang.