Seperti yang diberitakan bahwa Presiden Joko Widodo telah memastikan akan melakukan restrukturisasi TNI yang didalamnya termasuk rencana untuk membuka peluang bagi perwira TNI untuk menduduki jabatan di kementerian atau lembaga yang membutuhkan.
Sebelumnya juga telah wartakan, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto mengutarakan bahwa salah satu jalan keluar atas persoalan ratusan perwira tinggi dan perwira menengah tanpa jabatan struktural adalah melalui revisi Undang Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI khususnya Pasal 47.
Kontan saja kemudian muncul penolakan terhadap rencana Restrukturisasi TNI ini yang lalu dikait-kaitkan dengan kembalinya doktrin Dwifungsi ABRI era Orde Baru.
Bahkan di antara alasan yang dikemukakan oleh pihak penentang rencana tersebut adalah karena Restrukturisasi TNI itu dianggap bertentangan dengan 3 dokumen negara yang menolak dwifungsi ABRI, yaitu: TAP MPR RI No 10 tahun 1998, TAP MPR No 6 tahun 2000, dan TAP MPR No 7 tahun 2000.
Hal ini menurut pribadi penulis menjadi menarik untuk dikaji lebih lanjut karena setelah terbit Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR RI) merupakan jenis peraturan perundang undangan yang hierarkinya hanya satu tingkat dibawah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Secara logika TAP MPR RI harus menjadi rujukan dalam pembentukan serta penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berada di bawahnya seperti UU/Perpu, PP, Perpres, dan Perda. Artinya, apabila benar rencana Restrukturisasi TNI itu bertentangan dengan TAP MPR RI yang dimaksud maka semakin kecil pula kemungkinan untuk melakukan revisi UU TNI agar perwira TNI dapat menduduki jabatan di kementerian atau lembaga yang membutuhkan.
Untuk itu kiranya perlu dibaca kembali bersama penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf (b) UU 12 Tahun 2011 tersebut: Yang dimaksud dengan "Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat" adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003.
Berdasarkan Pasal 6 Ayat (89) TAP MPR RI No 1 Tahun 2003, ternyata satu dari tiga TAP MPR RI yang disinggungkan dengan Restrukturisasi TNI merupakan TAP MPR yang tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena bersifat einmalig (final), telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan; yaitu: TAP MPR RI No 10 Tahun 1998 tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara.
Adapun Pasal 4 ayat (6) mengatur bahwa TAP MPR RI No 6 Tahun 2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia berlaku sampai terbentuknya undang undang yang terkait.
Pada ayat berikutnya ditetapkan bahwa TAP MPR RI No 7 Tahun 2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia berlaku sampai terbentuknya undang-undang yang terkait dengan penyempurnaan Pasal 5 ayat (4) dan Pasal 10 ayat (2) dari Ketetapan tersebut yang disesuaikan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Otomatis ketika selesainya pembentukan UU 34 Tahun 2004 tentang TNI maka dengan sendirinya TAP MPR RI No 6 dan No 7 Tahun 2000 tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi.
Oleh sebab itu maka wajar apabila tafsiran tentang rencana Restrukturisasi TNI yang seakan-akan berbenturan dengan Ketetapan MPR RI sebagai aturan dasar negara disebut sebagai manifestasi dari fobia dwifungsi ABRI akibat dari pengalaman masa lalu.